Lihat, Baca, Dan Resapi!
Aku hanyalah manusia biasa yang ingin bercerita...

Edisi

Total Tayangan Halaman

Senin, 19 Desember 2011

CINTA DIAM DIAM

Sumpah gue nggak tahu harus bilang kayak gimana, yang jelas malam ini perasaan gue campur aduk. Ada perasaan bahagia, terkejut, sekaligus dilema!

Gue bahagia banget ngelihat foto-foto terbaru pacar gue di FB, dia kelihatan jauh lebih berisi. Sempat gue komentar ke dia via BBM beberapa waktu lalu.

Gue bilang, "Sayang, kamu makin berisi deh semenjak dinas disana?"

"Iya sayang, kalau disini nggak banyak-banyak makan, jaga stamina, bisa-bisa kena sakit malaria," balasnya.

at least gue senang banget melihat kondisi pacar gue baik-baik aja disana dengan kondisi badan yang sehat. Dia jauh kelihatan lebih tampan dan Ahhh... rrrrrr banget deh! Hihihi...

Dan gara-gara gue lihat foto-foto terbaru dia, gue jadi bener-bener kangen banget sama dia nih :'(
Pengen banget dia balik ke Jakarta...ada disamping gue...meluk gue, dan belai-belai rambut gue lagi sampai gue tidur. Ughh... miss you honey!

Eits.. eh eh tapi, kalau pacar gue ada di Jakarta, apakah mungkin gue masih bisa memiliki rasa yang sama dengan dia?

Ya, Dia...

Dia orang yang baru gue kenal sekitar beberapa bulan yang lalu, tapi resmi kenal bener-bener kenalan itu.. hmm, kurang lebih sekitar dua minggu yang lalu.

Sebenarnya sudah sejak lama banget gue merhatiin dia. Mungkin tekhnisnya bagaimana, cuma dinding-dinding cafe cangkir yang bisa menceritakannya. ^_^"

Gue pertama kali lihat dia itu ya di cafe cangkir, dan gue shock banget ketika Tuhan memberikan gue kesempatan untuk bisa kenalan dengannya. Ternyata dia adalah temennya dari temen gue yang namanya Nuri.

Hematnya gue banyak tanya ke Nuri soal dia. Dan sampailah di hari kamis, dua minggu yang lalu... gue kenal sama dia.

Namanya Dira. Dia adalah cowok yang selama ini mencuri perhatian gue. Entah kenapa gue bisa tertarik sama dia, mungkin bisa jadi karena fisiknya yang type gue banget ; Chubby :) NOT FAT yaa ;)

Dua hari sebelum kenalan sama Dira, gue udah sempat ke pergok sama dia lagi curi-curi pandang ke dia. Gue inget banget, hari itu hari selasa, dan saat itu hujan deras. 

Dira sama temen-temennya ngobrol di meja dekat tirai, dan sedangkan gue duduk bersebrangan sama dia hanya berselisih dua meja. 

Gue kepergok lagi CCP ke dia dan sontak gue teriak dalam hati, "DAMN Ketahuan lagi!" Tapi setelah itu gue tetap cuek bebek. Gue mengalihkan pandangan ke laptop di depan gue. Gue lanjut ngetik sambil curi-curi pandang ke dia. End, dia pun juga beberapa kali membalas lirikkan mata gue yang diam-diam itu.

Oh GOD...

Huh hah huh haaaah...

Dag Dig Dug...

begitulah yang gue rasakan setiap kali melihat lirikan matanya. Aaahhh... Dan sejak perkenalan hari kamis itu sampai hari ini, sedikitpun rasa itu nggak berkurang.

GILA! ini bener-bener gila...

Gue sempat bingung awalnya sama perasaan gue sendiri ke dia, beberapa kali curhat ke sahabat gue Lala untuk memastikan bahwa gue cinta sama dia atau nggak, sampai akhirnya gue menemukan jawaban bahwa gue CINTA SAMA DIA, walaupun gue tahu, dia sudah punya pacar dan gue pun sama.

Ah ini bener-bener gila...

Gue nggak tahu kenapa rasa cinta ini bisa muncul, mungkinkah karena gue sudah hampir 1/2 tahun LDR-an sama pacar gue atau mungkin karena faktor yang lain?

Ya kalau boleh jujur, memang pada dasarnya gue type orang yang nggak bisa LDR-an, karena hal itu bagi gue sangat menyiksa.

Gue udah pernah bilang sama pacar gue di awal-awal kita pacaran sekitar dua tahun yang lalu, bahwa gue type orang yang nggak bisa jauh dari pacar. Bukan berarti pacar gue harus ada 24 jam buat gue. Gue sadar bahwa pacar gue juga punya kehidupannya yang lain, gue pun sama, dan kita sama-sama menyadari akan hal itu.

Di saat-saat pertama menjelang keberangkatan pacar gue Dinas di ujung timur Indonesia sana, gue sempat ragu untuk menjalani hubungan Cinta jarak jauh ini. Tapi, pacar gue meyakinkan gue, bahwa ini adalah ujian untuk hubungan kami. Dia menyebutnya, kesetiaan cinta.

Tapi kenyataannya, semenjak dia pergi, ada cinta yang lain yang menyusup ke dalam hati gue pelan-pelan dan itu Dira.

Sampai detik ini gue masih belum menunjukan reaksi apa-apa ke Dira kalau gue suka sama dia. Kalau gue cinta sama dia, dan gue ingin memilikinya. Karena bagi gue, cinta itu HARUS memiliki. Kalau tidak, itu hanya sekedar perasaan kagum.

Saat ini perasaan gue sedang dilematis abiiiisss....
Gue nggak tahu, bagaimana seharusnya sikap gue ke Dira? Kalau gue anggap biasa-biasa aja, berarti gue mendustai hati gue yang beneran jatuh cinta ke dia. Tapi, kalau gue benar-benar sampai ada something dengan Dira.... bagaimana dengan pacar gue? bagaimana dengan pacarnya Dira juga? :'(

Oh Tuhaaaaaan....
Mungkinkah gue harus menjalani cinta diam-diam dengan Dira?

Oh GOD... gue benar-benar bingung!

Tok...Tok...Tokk...

Pintu kamar Maria terketuk pelan.

"Mariaa..." panggil Mama dari balik pintu kamar.

"Ya Maa, ada apa?" sahut Maria sambil membuka pintu kamar.

"Ada tamu buat kamu di bawah,"

"Siapa Ma?"

"Katanya temen kampus kamu,"

"Siapa? Ijan?"

"Bukan. Mama juga baru lihat sekarang."

"Tanya dulu Ma, namanya siapa... aku lagi ngetik naskah nih! Udah deadline banget."

"Tuh kan, kamu itu kebiasaan kalau sudah nulis, jadi lupa waktu deh! Sudah tinggal bentar kerjaannya. Temui teman kamu dulu dibawah sebentar."

Dengan langkah berat, Maria akhirnya mengikuti saran Mama untuk menemui tamu. Maria menuruni anak tangga demi anak tangga dari kamarnya di lantai dua. Dan ketika sampai di ruang tamu, matanya terbelalak hebat melihat siapa yang ada disana, tamu yang tak di undangnya dan tak di duga sebelumnya...

"Kamu...." kata Maria lirih.

"Hi Mar, apakabarnya?" ujar tamu itu menyapa Maria sambil berdiri dari posisi duduknya.

"Hm, ba...baa..baiiikk..." sahut Maria pelan. Matanya berbinar. Pipinya memerah.

"Sorry, aku ganggu kamu nggak malam-malam begini mampir kesini."

"Eeng.. ng.. Eh.. nggak kok! nggak ganggu sama sekali. Ayo silahhkan duduk!" lanjut Maria dengan kikuk.

Maria menunduk. Merapatkan dagunya ke dada, seakan-akan ia ingin mendengar dengan lebih jelas degup jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Ingin rasanya ia berlari keluar, lantas terbang ke langit malam, menari bersama bintang-bintang dan bulan.

Jumat, 16 Desember 2011

KEBAHAGIAAN ADALAH MASALAH KEPUTUSAN

Kebahagiaan adalah masalah keputusan.

Segera setelah anda putuskan untuk berbahagia, semua pikiran, perasaan, dan tindakan anda akan berfokus pada yang membahagiakan.
Maka tegaslah untuk memutuskan bahwa:
WAKTU TERBAIK UNTUK BERBAHAGIA ADALAH SEKARANG
TEMPAT TERBAIK UNTUK BERBAHAGIA ADALAH DI SINI
DAN CARA TERBAIK UNTUK BERBAHAGIA ADALAH MEMBAHAGIAKAN ORANG LAIN.

* Mario Teguh *

IRONIS

Ada begitu banyak keironisan dalam hidup yang aku temui di saat usiaku yang masih dini. Aku tidak tahu mengapa keironisan itu bisa terjadi. Padahal yang aku tahu, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan sempurna, tanpa sedikitpun keganjilan.

Sungguh, keironisan-keironisan itu sempat menyedot seluruh konsentrasiku. Membuatku berpikir penuh, mengapa sampai demikian?

Jumat, 02 Desember 2011

ANOTHER LOVE - (Kisah Denish) #1

Aku sering sekali mendapati kasus-kasus kenakalan remaja yang beragam. Terlebih sejak aku memutuskan untuk menjadi seorang guru di sekolah ini. Aku bekerja sebagai guru konseling sekaligus merangkap guru sejarah menggantikan Pak Agus yang baru saja almarhum sekitar dua bulan yang lalu.
Usiaku di sekolah ini memang tergolong cukup muda, baru dua bulan. Aku masih membutuhkan banyak pengadaptasian disana sini. Tapi meskipun begitu, aku bersyukur tidak mengalami kesulitan untuk mengajar anak-anak muridku. Mereka anak-anak yang cukup mudah untuk diatur, tapi tidak untuk bocah lelaki yang satu ini.
Lelaki ini adalah jagoan kecil yang baru aku kenal beberapa waktu lalu. Dia masih belum bisa berpikir panjang. Ia masih muda. Masa depannya masih jauh didepan sana, tapi hidupnya sudah sedemikian parah, rumit, dan memilukan.
“Kenapa kamu berkelahi lagi? Kamu tahu, tindakan kamu tadi itu hampir menghilangkan nyawa teman kamu.”
“Saya hanya membela diri pak!”
“Membela diri bagaimana? Jelas-jelas semua saksi di kantin tadi mengatakan kamu yang menyerang Aldo duluan.”
“Terserah bapak saja, mau mempercayai saya, atau dia. Kalau seandainya bapak menjadi saya, saya yakin, bapak akan melakukan yang sama. Apakah bapak akan diam saja, sedangkan harga diri bapak diinjak-injak dan ditertawakan, dijadikan bahan olok-olokan?”
“Saya akan mendo’akan mereka. Supaya Tuhan memberikan kesadaran kepada mereka.”
“Apakah bapak pikir dengan do’a saja cukup untuk merubah prilaku seseorang?"

Aku harus sabar. Ya, sabar! Aku ingat apa yang pernah Bu Farida katakan. Menghadapi anak yang satu ini memang harus ekstra sabar. Jangan sampai terpancing emosi. Kita ini pendidik. Bukan hakim, apalagi algojo.
“Isi form perjanjian ini,” kataku sambil memberikan map berwarna merah.
Ia menerima map itu dan langsung mengisinya.
“O ya, saya dengar kamu sekarang bekerja part time, benar?”
“Iya,” sahutnya singkat sambil terus menulis.
“Lalu waktu belajar kamu bagaimana?”
“Itu bisa disiasati.”
“Mungkin itu yang menyebabkan kamu akhir-akhir ini jadi sering terlambat datang ke sekolah?”
“Mungkin.”
“Guru-guru banyak yang khawatir dengan perubahanmu ini.”
“Terimakasih,” Ucapnya dingin.
“Orangtua kamu tahu kalau kamu bekerja part time?”
“Orangtua saya tidak tahu Pak.”
“Kenapa?”
“Ya karena saya tidak tahu harus memberi tahukan mereka kemana.” Jawabnya sambil memberikan form perjanjian yang sudah diisinya.
“Maksud kamu…”
“Saya tidak mengenal orangtua saya dengan baik.”
“Orangtuamu sudah meninggal sejak kamu kecil?”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
“Saya tidak tahu Pak! Saya tidak tahu apakah kedua orangtua saya masih hidup atau sudah meninggal. Dan saya tidak pernah mau mencari tahunya,” Terangnya dengan sinar mata yang menyala-nyala. Ada bara yang begitu panas yang aku lihat disana.
“Lagipula untuk apa saya mencari tahu tentang mereka. Mereka saja tidak pernah mencari saya. Saya rasa ini cukup adil. Mungkin mereka pikir saya ini binatang, anjing buduk yang bisa ditendang, dibuang begitu saja!” tambahnya keras.
Aku terkejut mendengarnya, “Hush! Maksud kamu apa bicara seperti itu? Hati-hati dengan ucapanmu itu!”
“Saya hanya mengungkap realita saja pak dan saya pikir, bapak jauh lebih mengerti dan bisa menerangkan kepada diri bapak sendiri maksud dari ucapan saya barusan.”
Sekarang aku bisa sedikit memahami, mengapa etika anak ini sampai begini. Ternyata ia kehilangan satu masa yang indah. Masa-masa bersama orangtua. Ia tidak merasakannya. Wajar saja.
“Ada lagi yang ingin dibicarakan pak?”
Lelaki muda ini memang batu. Aku sudah mendengar semua ceritanya dari guru-guru yang lain. Pada dasarnya dia anak yang cerdas dan kreatif, namun entah mengapa beberapa waktu belakangan ini ia menjadi begitu pemurung.
Aku sendiri tidak bisa berkata banyak untuk menanggapi masalah yang dihadapinya. Hanya kalimat ini yang baru bisa aku katakan padanya, “Kamu harus bisa merubah pola hidup kamu seperti dulu lagi. Apa yang kamu jalani saat ini. Kamu sudah tidak seperti yang dulu lagi.”
“Bagaimana bapak bisa tahu kalau saya bukan yang dulu lagi, sedangkan bapak saja baru mengajar disini.”
“Saya tahu lebih dari apa yang kamu tahu.”
Bocah ini mengerutkan dahinya. Ia nampak kebingungan.
“Saya memahami akan hal itu.  Semua saran yang saya berikan itu juga demi kebaikan kamu. Tapi, saya tidak bisa memaksakannya. Semua keputusan akhir, ada ditangan kamu. Berubah adalah pilihan.”
“Apa tidak ada pilihan yang lain?”
“Tidak!” sahutku mantap.
Aku pikir cara yang terbaik untuk menanggapi lelaki muda yang satu ini memang ketegasan. Tidak ada opsi lain yang bisa aku berikan selain itu.

“Ya sudah, sebaiknya kamu sekarang balik lagi ke kelas. Saya tidak ingin lagi mendengar kasus dari kamu lagi berkelahi dengan teman, terlambat datang ke sekolah, atau tidur dikelas.”
“Baik Pak!” sahutnya lemah.
Ia bangkit dan hendak balik ke kelas, tetapi sebelum ia benar-benar membuka pintu. Aku memanggilnya kembali, “Denish!”
Ia membalikan badannya. “Ya?”
“Kamu itu siswa yang cerdas. Jika kamu sudah tidak lagi memperdulikan bagaimana perasaan orangtuamu ke kamu, tolong. Minimal, jaga perasaan guru-guru yang menyayangi kamu. Jangan kecewakan saya. Saya menaruh harapan besar ke kamu. Saya menantikan Denish yang dulu!”
Ia hanya tersenyum tipis dan langsung menghilang dibalik pintu. Aku menghela nafas panjang,
Denish, adikku…”

Jumat, 16 September 2011

Mengejar Mimpi


Langit masih gelap. Bintang masih menggantung di langit hitam. Berkelap-kelip. Menggoda sang dewi malam yang belum juga beranjak dari singgasananya. Jam di atas meja itu bergetar dan memekik keras. Alarm yang sempat ia pasang sudah berbunyi dan berhasil membangunnya dari mimpi indahnya bertemu dengan keluarga yang dicintainya dan seorang gadis bermata indah. Mimpi itu terasa begitu nyata. Mungkin ini menjadi suatu pertanda bahwa lamarannya diterima?

Ia mengerjap-ngerjap matanya dan bangkit menuju kamar mandi. Ambil wudhu hendak melakukan shalat tahajjud. Dalam langkahnya yang pelan dan berat karena masih di selimuti rasa kantuk, ia terus menyeret langkahnya menuju kamar mandi. Ketika lewat di depan kamar Mirza, ia mendengar sayup-sayup suara Mirza yang sedang membaca Al Qur’an. Zaen menghentikan langkahnya sesaat. Mendekatkan dan telinganya kepintu kamar Mirza. Sayupan suara itu semakin terdengar jelas olehnya. Mirza sedang membaca Al Qur’an. Suaranya syahdu. Terdengar Mirza terisak pelan disela-sela bacaannya. Zaen yang mendengar sayup-sayup dari balik pintu ikut merasakan getaran hebat dari ayat-ayat Al Qur’an yang sedang Mirza baca.

Zaen melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu dan langsung melaksanakan shalat malam. Zaen selalu berusaha menjaga ibadah yang sudah biasa ia lakukan sejak di bangku SMA. Sejak ia bergabung di Rohis SMA dan mulai mengenal amal yaumiyyah lainnya, ia berusaha terus menjaga kestabilan ibadah wajibnya dengan ibadah-ibadah sunnahnya. Salah satunya yaitu dengan shalat tahajud.

Ia jadi teringat dengan apa yang Mas Dayat mentor di Rohis SMA nya dulu pernah katakan, shalat tahajud itu memang sangat disunnahkan, dikarenakan nilai keutamaannya yang sedemikian tinggi bahkan, Nabi Muhammad dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan Imam Muslim menyebutkan bahwa setelah shalat fardhu maka, shalat yang utama adalah shalat malam.

Di dalam Al Qur’an pun Allah banyak menerangkan tentang shalat malam, seperti salah satunya di dalam QS. Az Zariyat ayat 17 – 18 . Dalam ayat tersebut dijelaskan bagaimana salah satu ciri-ciri dari orang yang bertaqwa yaitu, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan pada akhir malam mereka memohon ampunan kepada Allah.

Dengan banyaknya ayat tentang shalat tahajud yang di kupas dalam Al Qur’an menunjukan bahwa tidak perlu diragukan lagi manfaat yang terkandung didalamnya. Menunjukan kualitasnya bagi diri kita. Baik fisik maupun non fisik.

Menurut Yazid bin Abban Ar Raqasi, shalat tahajud mampu menyehatkan mata. dan bahkan menurut Yahya bin Muadz Ar Razi, shalat tahajud merupakan salah satu obat dari sekian obat penyakit yang ada. Menurutnya, obat penyakit ada lima perkara yaitu, membaca Al Qur’an dengan dipikirkan maknanya. Mengosongkan perut (puasa). Shalat malam. Merendahkan diri di waktu fajar. Dan bergaul dengan orang-orang yang shalih.

Dengan berbagai fadhilah dari shalat Tahajjud yang diterangkan Mas Dayat pada waktu itu, Zaen akhirnya berupaya keras untuk tetap mempertahankan tahajjudnya. Bukan hanya sebatas ketenangan batin yang ia rasakan setelah melakukan shalat malam. Ia juga merasakan betapa dekatnya ia dengan sang pencipta. Ia merasakan betapa Allah begitu dekat dengannya melebihi dari urat nadi yang melekat di tubuhnya. Ia merasakan kasih sayang Allah membelai lembut dirinya malam itu. Setangkup beban, rindu, dan berjuta perasaan lainnya yang tengah dirasa olehnya dan menggantung di langit-langit pikirannya pun terasa copot satu per satu. Zaen merasakan ketenangan itu.

Zaen memulai mengangkat kedua telapak tangannya dan mensejajarkan dengan daun telinganya. Ia memulai shalat malamnya dengan takbiratul ihram yang di ikuti dengan hati yang bergemuruh hebat ketika mengucapkan takbir, ’Allahuakbar!’ dengan begitu lirihnya. Ia merasakan kemahabesaran Allah atas segalanya.

Zaen pun merasa hatinya mulai gerimis ketika ia selesai membaca surah Al Fatihah dan dilanjutkannya dengan membaca surah Al Jumu’ah. Ia merasakan betapa Mahasuci Allah lagi Mahaperkasa dengan segala macam penciptaannya. Allah yang mengatur siang menjadi malam. Malam menjadi siang. Allah pula yang mengatur bumi dan alam raya semesta untuk tetap berputar pada porosnya masing-masing yang telah ditetapkan oleh-Nya. Allah Maha kuasa atas segalanya.

Allah pula yang telah mengutus nabiyullah Muhammad kepada kaum yang buta huruf, kemudian menyampaikan risalah-Nya, menyucikan jiwa-jiwa mereka, dan mengajarkan mereka kebenaran, membebaskan mereka dari kesesatan yang nyata.

Airmata Zaen terus menetes kian deras ketika ia melanjutkan bacaannya ke surah berikutnya. Surah Al Munafiqun.

Zaen menutup qiyam nya dengan do’a malam yang panjang. Ia memohon ampun kepada Allah atas kekhilafan yang ia perbuat sepanjang hembusan nafasnya. Ia memohon perlindungan untuk orang-orang yang dicintainya. Meluruskan semua yang terasa belum lurus. Zaen meminta perlindungan agar di jauhkan dari sifat-sifat munafiq yang mampu menyeretnya ke nereka dan menanggung azab yang amat pedih.

Zaen melanjutkan do’anya dengan dzikir. Ia terus berdzikir dengan tasbih berwarna coklat dalam genggamannya hingga tertidur dan terbangun ketika alarm di handphone digitalnya memekik keras, menandakan sudah memasuki waktu shubuh.

***

Ia ingat betul, semua mimpinya berawal sekitar hampir sepuluh tahun yang lalu. Mimpi itu berawal ketika ia masih duduk di sekolah menengah pertama. Ia sudah menyimpan keinginan untuk belajar di negeri orang suatu saat nanti. Ketika itu rasa semangat belajar yang tinggi dan keberaniannya mengganntung impian terinspirasi setelah mendegar cerita dari Ibu, kalau Farhan saudara sepupunya yang tinggal di Kudus baru saja berhasil menyabet gelar master dari Negeri Paman Sam.

Berangkat dari cerita Ibu itu akhirnya impian demi impian ia bangun. Harapan demi harapan ia tata. Dan kepingan-kepingan semangat terus ia kumpulkan menjadi satu kesatuan. Sampai akhirnya ia berhasil meraih salah satu mimpinya, lulus menjadi siswa berprestasi di sekolah sekaligus dengan angka nilai tertinggi se-Kabupaten Kota Magelang.

Ia pun pulang kerumah dengan hati bahagia yang tak terkira dan langsung menyampaikan keinginannya kepada kedua orangtuanya untuk bisa melanjutkan kuliah ke Jakarta namun, kedua orangtuanya menolak. Ia akhirnya pun harus menelan kekecewaan, ketika ia tahu ternyata tidak mungkin ia bisa melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya. Keduaorangtuanya yang hanya bekerja sebagai buruh tani sudah tidak mampu lagi membiayai pendidikannya hingga keperguruan tinggi.

”Masih ada kedua adikmu Zaen. Kamu harus adil. Mereka juga harus sekolah.” Ujar Bapak.

”Iya Le, kasihan adik-adikmu. Uang kuliah itu mahal. Uang darimana? Bapakmu Cuma kerja buruh cangkul, sedangkan Ibu cuma nyulam kain. Uangnya juga gak seberapa. Buat makan sehari saja sudah bersyukur,” tambah Ibu yang membuatnya kian terenyuh dan akhirnya harus menerima kenyataan yang pahit itu.
Sekalipun sakit, ia harus tetap bisa bersikap bijak sebagai anak pertama dan menerima lapangdada kenyataan pahit itu. Ia harus bisa bersikap adil kepada dua orang adiknya yang masih harus sekolah. Ia tidak ingin kedua adiknya bernasib sama seperti anak sebaya didesanya yang banyak diantara mereka putus sekolah hanya karena masalah biaya. Ia tidak ingin itu terjadi.

Dan akhirnya ia memilih untuk memutar otaknya dengan keras. Berpikir. Kira-kira langkah apa yang harus ia tempuh agar bisa meneruskan mimpinya?

Rencana demi rencana pun ia susun, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menunda kuliahnya di tahun pertama dari kelulusannya. Ia memutuskan untuk bekerja dan nekat menjual sepeda yang ia beli dari hasil tabungannya disekolah dulu untuk jadikan sebagai modal dan ongkos kesana kemari mencari kerja. Ia tidak ingin menyusahkan keduaorangtuanya. Sampai akhirnya diterima kerja di kawasan Pecinan di Toko beras Sinar Harapan.

Waktu pun terus bergulir. Pundi pundi rupiah pun ia kumpulkan dari hasil memanggul beras dan ketika merasa tabungannya sudah cukup, ia pun meneruskan rencana selanjutnya. Ia ingin membuka usaha kecil-kecilan.

Ia pun langsung melancarkan rencana selanjutnya yaitu, menyambangi salah seorang temannya di pusat kota, ia akan belajar membuat getuk yang enak.

Lepas membantu kedua orangtuanya mengurus rumah. Pagi-pagi sekali ia langsung berangkat naik angkot berwarna biru tua jurusan Salaman-Bandongan kemudian turun di pertelon Bandongan, yang dilanjutkan dengan angkot selanjutnya jurusan Kaliangkrik-Magelang. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, ia sudah sampai dan turun di Perdana kemudian jalan kaki menuju alun-alun kota Magelang.

Setibanya di alun-alun, ia langsung disambut hangat oleh temannya yang sudah datang lebih awal.

”Jadikan belajar membuat getuk yang empuk, enak, dan lezat?”

”Jadi dong, Wan.” Ucapnya pada temannya yang bernama Irwan. ”Eh iya, kamu gak ada kuliah hari ini?”

”Ada, tapi nanti siang. Ya sekarang masih ada waktulah untuk mengajarimu membuat getuk spesial. Yuk langsung ke warung aja. Bapakku sudah menunggu. Nanti bapak yang akan mengajarimu membuat getuk yang enak sedunia.”

”Wah, aku jadi tidak enak nih. Sepertinya merepotkan.”

”Ah, biasa saja. Kamu ini seperti orang baru kenal saja. Bapak malah senang karena bisa mewarisi ilmunya kepada kamu dan tidak kepada yang lain. Jadi kamu adalah murid istimewanya bapak.”

”Alhamdulillah. Beruntung sekali berarti aku ya Wan.”

”Begitulah. Yuk kita langsung berangkat saja.”

Mereka pun langsung menuju Pasar Rejowinangun yang letaknya tidak terlalu jauh dari alun-alun kota. Irwan memperkenalkan temannya, Zaen kepada kedua orangtuanya. Pak Sukatman dan Bu Warsiti menyambutnya dengan hangat.

Getuk Pak Sukatman terkenal seantero kota Magelang. Dan beruntung hari itu, ia mendapatkan ilmu langsung dari sang ahli. Zaen memperhatikan dengan seksama apa-apa saja yang Pak Sukatman jelaskan.

”Cara membuat getuk yang enak itu sebetulnya mudah Nak Zaen.” Ujar Pak Sukatman ketika akan mengawali membagi ilmunya pada Zaen, ”Pertama-tama kita pilih singkong yang berkualitas baik. Tidak sembarang singkong yang bisa digunakan untuk dijadikan bahan dasar getuk. Haruslah singkong yang benar-benar bagus. Tidak tua. Tidak juga terlalu muda.” Tambahnya dan sampai ditahap pengolahan akhir Zaen memperhatikannya dengan seksama.

Zaen pun diberi kesempatan untuk mencobanya dan langsung berhasil. Ya walaupun rasanya tidak segurih buatan tangan Pak Sukatman.

”O ya Zaen, Bapak dengar kamu ingin membuka usaha juga?” tanya Pak Sukatman disela-sela kesibukannya mengolah bahan.

Inggih Pak. Buat nabung untuk nambah-nambah biaya saya. Saya ingin melanjutkan kuliah Pak.”

”Kalau begitu, kamu bekerja saja disini saja dulu. Kebetulan Si Masyitoh yang biasa bantu-bantu disini baru saja pindah merantau ke Jakarta ikut suaminya. Jadi kamu bisa terus belajar sampai modal kamu terkumpul buat buka usaha. Bagaimana?”

”Wah luarbiasa. Niatnya hanya ingin belajar, malah ditawarin pekerjaan. Terimakasih ya Pak.”

”Iya. Ini yang namanya rezeki plus-plus dari Allah. Bersyukur sama gusti Allah. Disini kan kamu nanti sekalian bisa terus belajar toh buat getuk yang enak. Dan kalau sudah kuliah nanti, ya kamu bisa buka usaha juga.”

Zaen betul-betul salut dengan kedermawanan Pak Sukatman yang begitu rendah hati mau berbagi ilmu atas rahasia kelezatan getuk buatannya. Jarang sekali ada pengusaha yang mau berbagi rahasia dapur mereka.

Darisitu Zaen benar-benar banyak belajar dan berterimakasih, berkat kedermawanan Pak Sukatmanlah akhirnya ia bisa melanjutkan kuliah ditahun berikutnya. Zaen mencoba keberuntungan dengan mendaftar beasiswa dari DIKNAS dan ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Kasih sayang Allah begitu ia rasakan pada saat itu. Allah menjawab sudah semua ikhtiar panjangnya selama ini. Allah memberikan nikmatnya dari arah yang tidak disangka-sangka.

Dalam waktu tiga setengah tahun. Zaen berhasil menamatkan studynya di UPI Bandung dengan mengambil konsentrasi manajemen bisnis dan sudah mulai merintis usaha getuknya dari tahun pertama kuliah. Hasil dari kerja keras belajar di Toko Getuk Pak Sukatman selama enam bulan lebih itu pun membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Selama ia kuliah, bisnisnya pun berkembang berjalan lancar dan cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-harinya sehingga ia sama sekali tidak membebani kedua orangtuanya bahkan, dari usahanya itu ia mampu membantu kehidupan sehari-hari keluarganya di Magelang meskipun tidak banyak.

Ia mampu membuktika kepada semua orang bahwa keterlambatan bukanlah awal dari sebuah kegagalan. Ia berhasil menuntaskan studynya yang terlambat satu tahun dibandingkan teman-teman seangkatannya dengan cepat dan tepat. Ia lulus dengan predikat CUMLAUDE.

Keterbatasan tenaga, waktu, dan biaya sama sekali tidak menjadi penghalang baginya untuk merangkai masa depannya. Justru hal-hal itulah yang ia jadikan sebagai bahan bakar semangatnya untuk terus maju. Ia tetap merangkai impiannya. Ia tetap pada tujuannya yaitu, ingin mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dan meraih gelar bergengsi dari luar negeri meski dengan keterbatasan biaya.

Zaen percaya bahwa cara terbaik untuk bisa meramalkan masa depannya adalah dengan menciptakan masa depan itu sendiri. Ia memahami kedua orangtuanya sudah tidak mampu lagi membantunya dalam hal biaya untuk merealisasikan mimpi-mimpinya. Tapi hal itu sama sekali tidak membuatnya patah semangat. Zaen percaya bahwa Allah Mahakaya dan Mahasegalanya. Zaen terus berupaya menciptakan masa depannya sendiri dengan mencoba keberuntungan demi keberuntungan. 

Dan ia tidak pernah menduga sebelumnya bahwa keberuntungan yang ia impikan selama ini bisa ia peroleh lebih cepat dari yang ia bayangkan sebelumnya. Tepatnya hampir setahun yang lalu, di tahun kedua setelah SK pengangkatannya menjadi seorang PNS di salah satu instansi pemerintahan. Dengan difasilitasi kantor, Zaen mendaftar untuk sebuah program beasiswa pascasarjana di luar negeri. Ia ingin merealisasikan salah satu impian terbesarnya selama ini yaitu bisa meneruskan kuliah di luar negeri dan tepatnya di bulan Februari setahun yang lalu, kabar gembira itu datang. Ia dinyatakan sebagai salah seorang pendaftar yang berhasil mendapatkan beasiswa itu setelah melalui serangkaian tes dan wawancara. Sejurus kebahagiaan itu langsung mengalir deras dalam aliran darahnya. Rasa kesyukuran yang tiada henti pun terus terucap seiring dengan hembusan nafasnya.

Zaen semakin mempercayai bahwa, setiap orang memiliki peluang untuk berhasil dan sukses untuk meraih impiannya. Yang menjadi pembeda hanyalah sejauh mana orang itu mau berusaha untuk mendapatkannya.

Ia semakin mantap untuk menuliskan impian-impiannya yang baru, bahkan ia tidak  takut lagi menuliskan apapun impian yang ada dibenaknya. Impian yang dulu selalu ditertawakan oleh orang banyak di desanya. Mereka bilang, ”Kamu itu harus realistis toh Zaen. Mana mungkin anak buruh cangkul bisa sukses kuliah sampai keluar negeri. Mustahil!”

Dengan lantang kini Zaen bisa mengatakan, ”Mungkin!”

Zaen sudah membuktikan bahwa anak seorang buruh cangkul bisa menggapai impiannya. Dan semoga kesuksesannya dalam meraih impiannya itu bisa di tangkap dengan baik oleh orang-orang yang dulu menganggap lemah impiannya. Semoga mereka mau belajar.

Memang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam benak Zaen untuk bisa meneruskan S2 di Australia. Yang terlintas dalam pikirannya hanya dua nama negera yaitu, menuntut ilmu di Inggris atau Amerika Serikat.

Zaen percaya ia akan banyak terinspirasi oleh para dosen yang mengajarnya dan akan ada banyak pengalaman lebih yang bisa ia dapatkan jika berkesempatan belajar di dua negeri yang jauh ini. Negeri yang waktu tempuh perjalanan udara dari Jakarta kesini lebih singkat daripada waktu tempuh perjalanan darat dari Jakarta ke kampung halamannya.

Tetapi meskipun Australia tidak terlintas dalam pikirannya dulu, tentu ia sadar bahwa ini merupakan salah satu bagian karunia besar dari Allah yang tetap harus ia syukuri. Ia bersyukur telah menjadi salah satu dari 265 orang penerima beasiswa, dari sekitar 4.700 pendaftar. Kualitas pendidikan kampus salah satu yang terbaik di dunia, sehingga menarik mahasiswa internasional dalam jumlah besar. Banyak universitas di Negeri Kanguru termasuk dalam jajaran perguruan tinggi papan atas dunia.

Sebelum berangkat ke negeri selatan ini, ia diwajibkan untuk mengikuti semacam kursus persiapan selama enam pekan. Sebuah pembekalan di lembaga bahasa di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Materi pembekalan yang terdiri dari peningkatan kemampuan bahasa, studi, dan adaptasi budaya, diharapkan dapat membekalinya dan rekan-rekan penerima beasiswa lainnya untuk menempuh studi secara efektif di Negeri Kanguru. Setelah persiapan lancar ia pun di berangkatkan ke Negeri Kanguru dipertengahan tahun kemarin.

Dan hari ini, sudah hampir genap satu setengah tahun ia berada di antara wajah-wajah cerah dan antusias yang penuh dalam menggali ilmu di kampus St.Lucia ini. Dalam duduknya di dalam kelas sambil memandang keluar jendela, ia pun melantunkan bait doa kepada Sang Penentu Segala.

Duhai Allah, ridhailah upaya kami. Kiranya langkah-langkah kami bernilai ibadah di sisi-Mu, serta dapat menjadi kemanfaatan yang dapat kami berikan untuk umat, bangsa, dan negeri yang kami cintai. Berkahilah ilmu kami. Permudahkanlah langkah-langkah kami dalam menggapai ridho-Mu. Amiin.
***

Semua Butuh Proses


Percaya atau tidak, waktu terasa bergulir begitu cepat. Tidak ada satupun manusia yang mampu menghentikannya. Tak terasa sudah hampir dua pekan ia berada di kota pantai timur Australia dan meninggalkan keluarga yang dicintanya di tanah air. Mengawali perjalanan hidupnya kembali sebagai civitas di negeri orang.

”Zaen... Zaen... ”

Pemuda yang memandang keluar jendela kamarnya diam tak mendengar.

”Zaen kamu melamun?” tanya Mirza tiba-tiba yang menyembul dari balik pintu.

”Eh kamu Mir, bikin kaget saja!” kejut Zaen sambil membalikan posisi duduknya mengarah ke pintu masuk. Mirza duduk ditepi ranjang Zaen.

”Melamunkan apa?”

”Ah tidak. Tidak ada yang aku lamunkan. Aku hanya merasa waktu berputar semakin cepat.”

”Ya aku juga merasakan hal yang sama ada sesuatu yang ingin kamu share ke aku Zaen? Aku perhatikan semenjak kembali dari Indonesia, kamu lebih banyak melamun. Ada apa?”

Zaen tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Getir.

”Bagaimana Zaen, apakabar keluargamu di Magelang?”

Ah, kena. Pertanyaan Mirza tepat mengenai sasaran. Persis dengan apa yang sedang Zaen pikirkan. Zaen menghela nafas berat.

”Alhamdulillah pada umumnya keluargaku sehat. Hanya saja bapak masih berjuang dengan penyakitnya dan adikku Zaadid masih belum ada kemajuan apa-apa.”

”Adikmu Zaadid memangnya kenapa?”

”Biasalah masalah klise anakmuda Mir. Adikku masih kelas 2 SMA dan semenjak masuk SMA itu, sikapnya berubah.”

”Berubah bagaimana?”

”Prestasinya menurun drastis. Malah sempat beberapa kali ketahuan membolos oleh adik perempuanku. Ditambah dengan sikapnya yang menjadi kasar. Ibu dan adik perempuanku sudah berkali-kali menasehatinya. Sedangkan bapak yang sekarang menderita sakit stroke itu pun akibat ulahnya. Aku sendiri sudah hampir kehabisan akal untuk menanganinya.”

”Kamu sudah mencoba mengajaknya berbicara dari hati ke hati?”

”Sudah Mir tapi, ia tetap bersikap dingin dan tidak mau bercerita apa-apa. Dia malah bilang aku terlalu ikut campur. Dia yang malah menyerangku dengan kata-kata kasar. Waktu itu bapak hampir saja memukulnya dengan sapu tapi, aku mencegahnya. Aku berpikir sikap kasar tidak bisa dibalas dengan perbuatan kasar juga.”

”Astaghfirullah. Kau benar Zaen tapi, aku rasa sekali-kali kamu harus bersikap tegas terhadap adikmu itu.”

”Iya aku tahu Mir tapi, apakah ketegasan itu dibuktikan dengan kekerasan seperti misalnya main tangan?”

Mirza menggeleng pelan, ”Ya. Tidak perlu sampai seperti itu! Lalu apa kamu sudah berusaha mencari tahu apa penyebabnya?”

”Aku sudah mencoba mencari tahu penyebab adikku berubah sampai seperti itu dan penyebab utamanya adalah pergaulan. Ia salah memilih teman.”

”Memang seusia adikmu adalah masa-masa transisi untuk menguatkan jati diri mereka. Kamu harus segera meluruskannya Zaen. Aku khawatir adikmu sudah terlalu lama sehingga membuatnya betah dengan pergaulannya yang sekarang ini.”

”Ya maka dari itu Mir, aku mencoba meluruskannya. Aku sudah beberapa kali mengajaknya mengaji kerumah ustadzku di Magelang tapi cuma berhasil dua kali, selebihnya ia menolak. Banyak alasan ini itu.”

”Jangan pernah menyerah Zaen. Aku ikut mendoakan semoga adikmu berubah seperti dulu lagi.”

”Amiin. Aku juga merindukan Zaadid yang dulu. Sewaktu di madrasah tsanawiyyah ia selalu berprestasi. Raportnya tidak kurang dari ranking 1 sampai 3. Sikapnya juga santun. Berbakti. Sering membantu kedua orangtuaku bekerja menggarap kebun orang tapi sekarang...”

Zaen merasakan matanya mulai memanas. Airmatanya sudah mendidih dan siap tumpah membasahi kedua belah pipinya. Zaen mencoba menahannya.

”Kalau kamu ingin menangis, menangis saja Zaen. Jangan kau tahan-tahan. Itu tidak baik.”

Zaen memejamkan matanya dan merasakan butiran airmatanya mulai tumpah. Pelan. Dan ia merasa jauh lebih lega karena sudah berbagi dengan Mirza. Zaen menyeka airmatanta kemudian menghela nafas panjang.

”Thanks Mir, kau sudah mau mendengar ceritaku. Aku jauh lebih merasa lega.”

”Sama-sama Mir. Kita ini kan teman. Sudah seperti keluarga malah. Sudah seharusnya kita saling berbagi rasa.”

Zaen ikut tersenyum mendengarnya.

”Semua butuh proses dan aku percaya kamu sekeluarga mampu melewatinya. Insya Allah.”

Sekali lagi Zaen mengucapkan syukur karena memiliki teman satu flat yang sedemikian perhatian dengannya. Mereka bukan lagi hanya sekadar seperti teman satu flat, tetapi juga seperti satu keluarga yang saling mendukung, menguatkan satu dengan yang lainnya. Ia kembali teringat ketika waktu-waktu pertama ia mulai belajar beradaptasi dengan kondisi di Brisbane. Banyak hal yang ia pelajari melalui Faisal dan Mirza yang sudah lebih dulu menetap di Brisbane dibanding dirinya dan Salim.

Hidup di negeri orang khususnya di Brisbane ini bukan hanya sebatas iklim yang harus di adaptasikan. Hidup di negeri orang akan menjadi pengalaman hidup yang berharga yang bisa di bagi ke anak-cucu kelak.

Disini, Zaen tidak hanya harus beradaptasi dengan iklim tapi ia juga banyak mengalami keterkejutan budaya (culture shock) dan itu merupakan pengalaman baginya yang harus bisa ia sikapi dengan sebaik mungkin, kalau tidak? Ah, ia tidak bisa membayangkan lebih. Bisa-bisa ia terjerumus kedalam arus pergaulan bebas ala barat. Na’udzubillah mindzalik!
Zaen juga mensyukuri ketika mengingat waktu yang bergulir di Indonesia tidak mengalami banyak pergeseran. Tidak seperti disini.

Ya, beruntung sekali Indonesia yang beriklim tropis, sepanjang tahun waktu siang dan malam kurang lebih sama. Sehingga agenda keseharian pun bisa tersusun dengan rapih, seperti misalnya waktu untuk shalat wajib. Sedangkan di Brisbane, waktu berubah-ubah tergantung musim. Seperti halnya yang terjadi pada seperti sekarang ini, ketika waktu telah memasuki musim dingin, siang hari akan terasa lebih pendek dibandingkan malam hari. Waktu shalat Shubuh sekitar pukul lima pagi, sedangkan shalat Maghrib bisa sekitar pukul lima sore. Lebih awal di bandingkan di Indonesia yang sekitar pukul enam sore. Pengadaptasian waktu seperti ini terasa aneh bagi Zaen. Meskipun begitu, ia terus berusaha untuk membuat dirinya terbiasa dengan kondisi seperti ini. Dimanapun bumi di pijak, disanalah bumi Allah tempat kita mengabdi dan bertunduk serah padaNya. Shalat wajib harus tetap ditunaikan meski waktu berganti tak seperti biasanya.

Brisbane merupakan kota di bagian utara Australia, dan karena itu juga hawa musimnya tidak seekstrim kota-kota lainnya yang berada di bagian selatan Australia. Namun tetap saja, bagi Zaen yang terbiasa dengan iklim Indonesia, ukuran suhu pada pagi dan malam hari di sini yang bisa jatuh hingga tujuh derajat Celcius tetap berhasil membuatnya selalu meringkuk dengan jaket tebal ataupun selimut. Namun tidak untuk siang harinya. Pada musim dingin, matahari siang tetap terasa hangat. Jarang sekali Zaen menemukan orang-orang beraktifitas di siang hari menggunakan pakaian hangat ataupun jaket tebal. Mereka tetap berpakaian seperti biasanya.

Zaen teringat dengan pesan Ibunya, ”Kamu harus wanti-wanti di negeri orang. Terutama makanannya! Tanya-tanya dulu, halal atau tidak. Jangan asal makan ya.”

”Apapun yang masuk kedalam perut, halal atau haram, itu akan menentukan kualitas diri dan ibadah seseorang. Jangan sampai kamu lupa ya!” tambah bapak.

Salah satu hal yang di khawatirkan sejak awal oleh kedua orangtuanya memang masalah kehalalan makanan. Pak Zuheid memang mendidik keluarganya untuk senantiasa bersikap wara’ terhadap segala sesuatu yang mereka konsumsi. Baginya, kehalalan sesuatu yang masuk ketubuh mereka adalah pangkal keberkahan dari hidup seseorang. Percuma saja jika hidup enak tetapi tidak mendapatkan keberkahan hanya karena ketidakhalalan sesuatu yang di konsumsi. Baik itu makanan, ataupun yang lainnya. Zaen tidak ingin hanya karena ia tidak bersikap wara’ terhadap makanan yang ia makan selama menempuh study disini, semua ilmu yang pelajari di kampus St.lucia keberkahannya menjadi berkurang bahkan yang paling mengerikan jika sampai menghilang. Itu sama saja sia-sia semua perjuangan dan pengorbanannya selama ini. Zaen tidak ingin itu terjadi.

”Lebih baik hidup apa adanya, menderita, daripada harus hidup maksa dengan menghalalkan segala cara supaya bisa hidup enak. Sekalipun itu harus makan dengan jagung atau nasi aking, itu lebih baik daripada makan dengan nasi tapi berasnya hasil dari mengemis atau mencuri. Lihat saja hidup para koruptur itu, mereka tidak ada yang hidup enak. Uang mereka mungkin berlimpah, tapi mereka tidak memiliki kenyamanan sama sekali. Hari-harinya selalu gelisah. Diliputi rasa takut kalau sewaktu-waktu kejahatannya terbongkar. Hidup dengan keridhoan Allah, itu sudah jauh lebih dari cukup,” pesan Pak Zuheid pada anak-anaknya.

Zaen memang merasakan betul apa yang bapaknya pesankan waktu itu. Selama ini memang ia tidak merasakan kekurangan sesuatu apapun. Alhamdulillah. Hari-hari memang selalu ia lalui dengan rasa syukur yang mendalam. Apa yang ada dihadapannya pada hari itu, ya itulah rezeki yang Allah berikan padanya pada hari itu dan tidak ada yang harus ia lakukan selain menikmati dan mensyukurinya.

Seperti halnya sekarang ini ketika ia dan tiga orang teman satu flat dengannya seiya sekata untuk masalah makanan. Tidak ada yang rewel untuk masalah itu. Mereka menikmati apa yang bisa mereka makan disetiap harinya dan untuk menjaga kehalalan makanan setiap harinya, mereka memilih untuk memasak sendiri. Mereka menyediakan waktu beberapa hari dalam sepekan untuk berbelanja bahan-bahan sayuran, bumbu, dan sebagainya. Semua sudah terjadwal rapih dalam jadwal piket yang telah mereka sepakati bersama. Salim, pemuda asal Kediri lah yang menjadi juru dapur. Ia yang paling hafal berbagai macam resep masakan khas Indonesia. Maklum, orangtuanya adalah salah satu pengusaha besar restoran makananan yang ada di Kudus.

Zaen juga mulai belajar sedikit demi sedikit menyesuaikan dengan menu-menu yang dihidangkan. Hampir setiap menu masakan yang mereka santap selalu daging, daging, dan daging. Karena memang, selain karena kebiasaan disini yang cenderung lebih banyak mengkonsumsi daging, disamping itu harga daging di  sini jauh lebih murah di bandingkan harga sayuran. Kontras. Berbanding terbalik dengan kondisi harga di Indonesia yang harganya selangit.

Terkadang baik Zaen maupun temannya yang lain dalam kondisi tertentu mengharuskan mereka makan diluar namun kekhawatiran masalah kehalalan tidak terlalu mebuat mereka risau. Alhamdulillah.

Mereka sudah mengetahui dimana-mana saja makanan halal bisa ditemui. Seperti misalnya di Main Refectory, sebagian besar makanan yang di jual disana sudah jelas kehalalannya. Pihak dari University of Queensland memberikan Handbook for Muslim Student, semacam buku panduan makanan-makanan halal dan itu sangatlah membantu. Di dalamnya tercantum daftar makanan yang sudah terkategori halal, restoran-restoran halal, bahkan sampai  butcher daging halal. Untuk susu segar dan jus buah bisa di dapatkan dengan harga yang relatif murah.

Sejak menapakan kaki di tanah kangguru ini, Zaen sudah mulai membiasakan untuk bertransaksi dengan menggunakan Dollar Australia.

”Kalau kamu berbelanja sesuatu, jangan pernah sekali-kali mengkonversi harga-harga disini dengan rupiah ya Zaen,” tutur Faisal padanya dan Salim ketika masih hari-hari pertama tiba di Australia.

”Memangnya kenapa, Mas?” tanya Salim penasaran.

”Karena memang perbedaan biaya hidup di Indonesia dan Brisbane sedemikian jauh. Saat ini kurs AUD$1,00 setara dengan Rp 9.000,- dapat dibayangkan betapa mahalnya makan siang kita di kantin kampus seharga $3,80 per porsi,” jelas Faisal menambahkan. Zaen dan Salim pun saling berpandangan sambil mengernyitkan kening tak percaya.

”Kalau di Jakarta mungkin, kita bisa nambah beberapa piring ya?” timpal Mirza yang disusul dengan gelak tawa mereka bersama.

Dan salah satu yang terkadang menjadi kendala bagi mahasiswa pendatang adalah masalah kemampuan berbahasa, terutama ketika berbicara. Zaen merasakan hal itu. Meskipun ia telah menjalani pelatihan bahasa di Jakarta di kawasan Kuningan sebelum diberangkatkan ke Australia namun, masih belum mudah juga baginya untuk menyampaikan gagasan secara lancar dalam bahasa Inggris. Atau ketika mendengar orang Australia berbicara dengan intonasi yang cepat, apalagi dalam Australian English yang belum terlalu familiar. Semua memang benar-benar butuh penyesuaian. Sungguh.

Tetapi ada satu hal kesan positif yang sangat Zaen rasakan selama menempuh study di Australia. Bahkan ia selalu berujar kalimat tasbih dalam hati, ”Subhanallah,” ketika kerap kali telinganya mendengar orang Australia mengeluarkan kata dengan mudahnya seperti,

”Thank you,”

”Sorry,”

”Excuse me,”

”Please,”

Kata-kata yang mungkin juga langka meluncur dari mulutnya. Ia merasakan mendapat pelajaran baru dalam hidupnya. Kata-kata santun yang sederhana namun luarbiasa.

”Tinggal jauh dari keluarga, dari tanah air, akan membuatmu jauh banyak belajar, Zaen. Akan banyak hikmah yang bisa kamu gali disini,” ungkap Faisal padanya lepas shalat isya pertamanya di flat.

Ya, begitu banyak sekali segala yang ada di Brisbane ini yang bisa ia gali, namun ada hal-hal juga yang kerap membuat miris hati mengetahuinya seperti disini bisa dengan mudahnya menjumpai siapa saja dengan berbagai perilaku yang belum sesuai atau bahkan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya di Indonesia.

”Dan kamu juga harus siap, pergaulan disini luar biasa beraninya. Bahkan lebih dahsyat daripada di kota-kota besar di Indonesia.”

Ya, para pemuda dan gadis-gadis memakai pakaian-pakian yang relatif terbuka, bahkan ada yang seperti tidak mengenakan pakaian sama sekali. Bukan hanya sekedar lekukan tubuh yang mereka bentuk, tapi kulit mulus mereka pun dengan santainya mereka jajakan kemana-mana. Bukan hanya itu, tidak sedikit pula yang sering menampakan kemesraan pacaran yang berlebihan, tidak malu-malu lagi mencumbu pasangan di tempat umum. Menghabiskan waktu akhir pekan dengan berbagai macam pesta, dan mabuk-mabukan.

Dan ada satu hal yang membuat bulu kuduk Zaen merinding ketika mendengarnya,

”Dan kamu juga jangan heran jika menemukan fenomena yang mengejutkan yang satu ini Zaen.”

”Apa itu, Mas?”

”Fenomena yang sangat umum terjadi di Australia dan negara-negara barat lainnya, yaitu pasangan yang tinggal bersama sebelum menikah dan melakukan hubungan seksual.”

Mata Zaen membulat. Bukan karena ia baru pertama kali itu mendengar kisah semacam itu, tapi ia benar-benar terkejut dengan hal-hal semacam itu. Akan di bawa kemana moral bangsa, jika generasi mudanya masih seperti itu?

”Innalillah,” ucap Zaen lirih.

”Bukan hanya itu juga, di sini sudah berita yang biasa di dengar kaum muda melakukan hubungan intim pada usia belasan tahun.”

”Naudzubillah! Sungguh memprihatinkan ya, Mas.”

”Ya begitulah,” sahut Faisal sambil bangkit melipat sajadahnya.

”Dan tugas kita masih banyak, Zaen,” tambahnya, ”Allah mengirimkan kita ke berbagai pelosok dunia bukan semata-maya hanya sekadar mencari ilmu, tapi Allah juga menginginkan kita menegakkan kalimatullah dimana bumi Allah kita pijak. Kita sebagai muslim yang baik, harus bisa menunjukan identitas kita sebagai seorang muslim sekalipun itu ketika berada di negara yang minoritas. Kita harus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif,  selain untuk menjaga iman kita agar tetap dalam kondusi minimal stabil, upaya kita juga agar membuktikan bahwa islam adalah agama rahmatan lil alamin.”

Zaen yang kala itu masih dalam posisi duduk di atas sajadah birunya mendengarkannya dengan perhatian penuh.

”Jika ada pepatah lama mengatakan, 'dimana bumi di pijak, disitulah langit di junjung!' maka, untuk muslim yang baik, 'dimana bumi di pijak, disitulah kebaikan disebarkan!'” 

Hati Zaen bergetar hebat mengingat obrolannya dengan Faisal lepas shalat isya malam itu.

Setibanya di negeri kangguru ini beberapa waktu yang lalu, Zaen begitu merindukan alunan suara adzan yang saling bertalu-talu dari satu masjid ke masjid di kampungnya dan hal itu tidak ia temukan disini.

Lagi-lagi hati Zaen membanding-bandingkan kondisi Indonesia dengan  Australia. Di Indonesia, hampir di seluruh penjuru kota kita bisa dengan mudahnya mendengar suara adzan disetiap waktunya sebagai pengingat waktu shalat. Bahkan masjid atau mushala pun dapat dengan mudahnya ditemui di sepanjang jalan raya, perkantoran, mall-mall pusat perbelanjaan, sampai pom bensin pun juga memiliki mushala yang menjadi salah satu fasilitas yang wajib yang harus ada. Bukan lagi hanya sebagai pelengkap. Namun disini, pengeras suara adzan hanya untuk di dalam masjid saja, sehingga suara adzan pun seakan menjadi suara yang langka untuk bisa di dengar.

Beruntung di salah satu sudut kampus UQ St Lucia tempat Zaen dan teman satu flatnya menimba ilmu, memiliki sebuah bangunan sederhana semacam rumah satu lantai yang biasa di gunakan sebagai mushalla namun sayangnya, Zaen maupun teman-temannya tidak bisa sering-sering melakukan shalat berjama'ah disana karena jaraknya yang cukup jauh. Selain itu, ruangannya pun terbatas. Bahkan untuk shalat Jum'at, dilaksanakan di salah satu gedung universitas.

Zaen mulai merasakan getaran-getaran rindu yang mengepung perasaannya. Gejala-gejala itu mulai muncul, homesickness.

Zaen mengambil bingkai foto yang ia simpan dibalik bantal. Ia pun mulai merebahkan kepalanya. Ia pandangi wajah-wajah yang ada dalam foto itu. Hatinya terasa perih. Perih karena rindu yang mulai menyayat-nyayat perasaannya.

Ia pun mulai perlahan memejamkan matanya yang basah dipenuhi airmata. Zaen tertidur. Bermimpi indah, bertemu keluarga yang dicintainya. Melihat wajah Ibu, Bapak, kedua adiknya, dan setelah itu muncul wajah seorang gadis yang dicintainya. Gadis pemilik mata indah dan wajah bersinar seperti tertimpa sinar bulan purnama. Zaen bermimpi mengarungi pada rumput yang hijau segar dengan mereka. Zaen mengandeng gadis itu mesra dan penuh cinta. Gadis itu pun nampak bahagia.

***


     Kantin utama UQ St. Lucia