Lihat, Baca, Dan Resapi!
Aku hanyalah manusia biasa yang ingin bercerita...

Edisi

Total Tayangan Halaman

Rabu, 24 Agustus 2011

Tabayyun Part II - (Meluruskan yang selurus-lurusnya)


24 Agustus 2011 / 25 Ramadhan 1432 H..

Guys, masih ingat kan dengan kisah gue di notes sebelumnya? TABAYYUN (Cerita Pagi). Masih inget kan? Nah klo masih inget, ini dia lanjutan kisahnya. Bagi yang belum baca part yang sebelumnya. mohon dibaca juga ya.. takutnya kurang nyambung. Hehehe. Ini semua based on true story. Baruu aja terjadi. Nama tokohnya gue samarin ya guys... Mohon maaf juga sebelumnya nih, kalau misalnya nanti ditengah-tengah cerita ada satu-dua kalimat yang kurang ngeh dibacanya ya. Terima kasih dan selamat membaca... ^____^



***

Dengan mengucapkan bismillah berkali-kali dan memohon perlindungan Allah swt, gue pun akhirnya sampai di Masjid Agung Al Azhar. Berniat untuk memarkirkan motor disana. Mengapa?

Memang jika dilihat keefektifan dan efesiensinya emang lebih enak naik motor langsung kesana. Tapi gue punya maksud lain yaitu, menghindari tawaran dia untuk jalan-jalan. Karena sebelumnya ia sudah bilang kalau mau ngajakin jalan. Nah karena gue lebih memilih untuk mewanti-wanti hal-hal yang tidak diinginkan terjadi maka, gue lebih memilih untuk naik busway dan turun di halte Setiabudi.

Jam di pergelangan tangan gue sudah menunjukan pukul tujuh lewat dua lima menit. Gue berjalan di pinggiran trotoar depan gedung-gedung perkantoran yang tingginya seolah saling berlomba mencakar langit. Siapa yang paling tinggi seolah dialah yang keluar sebagai pemenang. Udara sejuk pagi kota Jakarta masih kental terasa walaupun tidak sesejuk kota-kota lainnya di Indonesia yang belum tercemar hebat polusi kendaraan maupun limbah. Tapi memang benar, saat itu gue merasakan udara paginya segar dan cukup membuat gue nyaman berjalan santai sambil mencari alamat.

Setelah melewati gedung perkantoran yang bertuliskan SONA TOPAS, gue pun mencari-cari gang yang dimaksud temen gue itu dan sekitar lima puluh meter dari situ gue akhirnya menemukan gang yang dimaksud. Ternyata gang itu berada persis disamping gedung HSBC dan WTC. Letak gangnya tidak terlalu jauh dari halte busway karet.

Gue berjalan pelan memasuki gang itu sambil terus mencoba menghubungi teman gue itu. sampai akhirnya gue berada di persimpangan jalan. Gue bingung nih, belok kanan atau kiri ya?

Cukup lama gue menunggu BBM gue delivered dan di read sama temen gue itu. Mungkin ada sekitar lima belas menit. Dia meminta gue untuk berjalan ke kiri sampai bertemu gang sebelum masjid. Masuk lurus terus sampai ketemu rumah kosan berwarna kuning muda agak ke krem-kreman gitu.

Sepanjang jalan memasuki gang dekat masjid berukuran sedang dan berkubah hijau itu, gue mengamati lingkungan sekitar tempat teman gue itu tinggal. Pemukiman padat khas orang pinggiran kota Jakarta. Rumah-rumah saling berhimpit. Gang-gang sempit hanya berjarak sekitar satu sampai satu setengah meter. Ditambah got-got hitam di kanan-kirinya.

Langkah gue terhenti ketika di ujung gang sebelum belokan ke arah kanan. Gue melihat sebuah bangunan cukup besar berwarna kuning muda agak kekrem-kreman gitu lah pokoknya.

Pelan, pelan, dan pelan gue buka pintu gerbang itu. Suara decitan engsel pintu yang kurang minyak pun langsung terdengar. Entah mengapa, jantung gue berdegup kencang.

“Ya Allah kuatkan hamba. Semua ini hamba lakukan demi mencari sebuah kebenaran dan mencoba menyampaikan kebenaran jika memang harus hamba sampaikan kepadanya. Ya Allah, jangan biarkan hamba tergoda. Lindungi hamba dari hal-hal yang melenakan jiwa. Amiin ya Allah.”

Gue pun mulai memencet bel. Setelah beberapa kali terpencet. Pintu utama kosan itu terbuka. Seorang pemuda berwajah bulat, alis tebal, dan berkulit sawo matang membuka pintu. Seraya tersenyum ramah dan menyambut kedatangan gue.

“Cari siapa mas?” tanyanya sambil mengembangkan senyum. Matanya ikut mengamati tubuh gue. dari atas sampe bawah. Dari bawah berhenti di tengah, … eh.. ops… salah.. maksudnya dari bawah sampe ke atas lagi. >> “maksud nih orang apa sih pake ngeliatin gue kayak gitu. Ada yang salah dengan baju yang gue pakai kah?” tanya gue dalam hati sambil mandangin baju kemko (kemeja-koko) warna putih yang gue gulung sampai siku plus celana jeans abu-abu. Pokoknya tetap stylist lah!

“Mas, mau cari siapa?”

“Eh, anu mas…”

Duh, kenape gue jadi grogi gini sih!

“Anu , kenapa anu saya?”

“Hm, maksudnya saya mau cari anu temennya mas.”

Si bell boy itu makin mengernyitkan keningnya. Gue pun makin garuk2 pantat. Ops, salah.. maksudnya garuk-garuk kepala, pundak, lutut kaki, lutut kaki (3X)

“Saya cari temen saya mas. Randy. Katanya sih ngekos disini.”

“O. iya..iya.. tuh ada di kamar 11 A. masuk aja mas.”

Sambil permisi-permisi gue pun masuk ke rumah kos-kosan yang lebih mirip rumah X. rumah berlantai dua itu berlorong gelap alias kurang pencahayaan dari luar dan terkesan ‘dingin’, tidak sehangat kos-kosan yang dulu sering gue kunjungi di kampus Jurang Mangu.

Tok..Tok..Tok..

Pintu terbuka dan…

“Eh mar.. masuk..masuk!”

Gue masih diem mematung di depan pintu sambil bengong, mengernyitkan kening, dan gak tahu deh muka gue saat itu kayak apa ekspresinya. Ketakutan mulai menjalar keseluruh tubuh gue.

“Ran, pakai baju dulu lo. Gak sopan banget ngejamu tamu Cuma pake CD doang! Ogah ah gue masuk. Sono pake baju dulu.”

“Yaelah, masih kaku aja sih lo. Udah masuk cepet. Ada anjing gila lo disini.”

Dengan terpaksa gue masuk sambil mengedarkan pandangan kesekeliling isi kamar kosnya. Randy, temen gue itu pun masuk ke dalam kamar mandi mengenakan pakaian yang jauh lebih pantas menjamu tamu dibanding yang tadi.

“Sorry, gue habis mandi. Gue kira tadi siapa. Gue kira temen gue di kos sini. Kalau disini soalnya udah biasa klo cuman pake CD doang.”

“Hah?”

“Iya. Ini kan kosan cowo. Jadi nyantai aja lagi.”

Duh sumpah.. kepala gue mulai pusing. Gue gak mau membahas masalah pakaian dalam alias underwear, alias celana dalem, alias apapun itu, Ah elah… gak enak banget deh!

“Mau minum apa?”

“Minum?”

“Ya Tuhan, Oh. God! Sorry.. sorry, gue lupa lo puasa.”

“Gak papa kok. Lo puasa juga kan?” tanya gue. Randy pun mematahkan pertanyaan gue dengan balik bertanya.

“jadi ada hal penting apa yang mau lu sampe-in ke gue?”

Gue pun langsung menjelaskan tanpa perlu banyak berbasabasi lagi. Gue ceritakan semua berita tentang dia yang gue denger setahun belakangan ini. Dari mulai A sampai Z. Randy Cuma senyum-senyum geli mendengar cerita gue. setelah gue selesai cerita, dia langsung menanggapinya dengan santai.

“Terus lo percaya dengan semua berita yang beredar tentang gue?”

“Ya kalau seandainya gue pun percaya dengan berita itu, ya gak mungkin lah Ran gue kesini. Susah payah selama ini nyari-in lo.”

“Begini Mar, kalau seandainya memang gue criminal, gak mungkin dong gue bisa dengan bisa leluasanya keluar masuk Jakarta. Pergi kesana kemari keluar kota. Iya kan? Pastinya gue udah jadi buronan polisi.”
Gue ngangguk-ngangguk pelan mencoba mencerna ucapannya.

“Jadi semua tuduhan selama ini yang bilang lo bawa kabur uang tante lo, uang si X, uang si Z.. semua itu Cuma gossip dong. Cuma fitnah. Bener begitu?”

“Ya. Begitulah kurang lebih.”

“Kurang lebih?”

“Jadi begini Mar. Gue terbang ke Makassar. Ke Bali. Ke Surabaya. Ke Jakarta. Ke Samarinda. dan lain sebagainya itu, sebagian besar memang dibiayai oleh orang yang ngajakin ketemuan sama gue. Lo tahu sendiri kan hidup gue kayak gimana? Gue bukan kayak lo Mar, yang bisa berjuang di bangku kuliah untuk bisa mendapatkan ijazah kuliah. Gue Cuma lulusan SMA dengan nilai yang pas-pasan. Dan untuk gue bisa tetap bertahan hidup, gue butuh kerjaan mar ! Apapun itu akan gue kerjakan.”

“Singkatnya, setelah gue sering update distatus FB, gue bilang lagi nyari kerjaan, pasti ada aja yang nawarin gue kerjaan. Ada yang bilang, ‘udahlah Ran, kamu sekalian aja tinggal sama saya.’ Dan lain sebagainya.”

“Hm gue yakin mar, lo pasti ngerti cerita gue. Lo tahu persis gue siapa kan? Gue pun mengiyakan setiap tawaran yang datang ke gue, dengan syarat juga, gue liat-liat dulu, orang itu type gue atau gak.”

Kali ini gue menggelengkan kepala pelan dan menyela perkataannya.

“Jadi lo masih…”

Kalimat gue terpotong. Randy langsung menyerobot meneruskannya.

“Iya..iya. Masih! Gue sekarang masih begitu.”

‘Astaghfirullahaladzhim! Ya Allah, luruskan temen hamba ini ya Allah. Selamatkan dia dari kesemuan kenikmatan dunia yang menyesatkan ini ya Allah.’

“Lo kenapa mar, kok kayak shock gitu? Kayak baru tahu aja.”

“Ah, enggak.. enggak kenapa-napa. Terus..terus.. sekarang lo bisa sampai disini gimana?”

“Jadi sekarang gue sampai disini dibeli-in tiket sama si ‘Papi’. Ya dia yang biayain gue.”

“Terus, kos-kosan ini, si Papi lo itu juga yang bayarin?”

“Ya gaklah. Ini gue sendiri. Gue balik ke kantor gue tuh yang didepan. Gue ikut sama agen gue yang lama. Kecuali semua ini.. tv flat+satelit, dvd,.. semua dia yang beliin.”

“Emangnya si Papi lo yang sekarang ini kerjanya apaan?”

“Staf Kementrian X.”

“What???????”

“Yaelah, santai aja dong mar. gak usah kaget gitu!”

“Ya Allah Randy. Lo mau sampai kapan sih begini?”

“Hm, mulai deh! Males ah gue…”

“Okay..okay.. gue gak nyeramahin lo. Nah, sekarang kan udah jelas.. lo udah bilang kalau ternyata selama ini lo Cuma di fitnah kan. Lo gak bener-bener ambil uang tante lo. Kenapa sih lo gak balik aja tinggal di Bintaro sama tante lo. Disana kan lo bisa hidup enak Ran.. lo bisa kuliah di biayain sama tante lo. Lo hidup bareng sama sepupu-sepupu lo. Jadi apa yang kurang? Semua serba terjamin Ran.”

“Ah males juga gue sama lo. Gak usah bahas keluarga kenapa sih?”

“Lho, gue kan Cuma tanya. Klo memang lo gak bersalah, lo seharusnya balik ke keluarga lo dong Ran. Atau minimal lo balik ke Bandung. Nemuin kedua orangtua lo. Dengan begitu, lo kan bisa….”

Kalimat gue terpotong sampai disitu. Randy terburu memegang pundak gue kuat-kuat sambil menatap gue tajam.

“Mar, dengar ya! Lo tahu gak kenapa gue jadi seperti sekarang ini tuh gara-gara siapa? Semua ini tuh gara-gara kedua orang tua gue tahu gak?!!” Ujar Randy dengan nada yang tinggi dan menghempaskan pundak gue dengan keras sampai membentur tembok.

“Orang tua gue gak pernah ada waktu buat gue. Mereka Cuma sibuk dengan dunianya masing-masing. Egonya masing-masing. Sampai akhirnya mereka bercerai. Dan itu semakin memperburuk keadaan gue!”

“Dan lo juga mesti tahu Mar… bagaimana rasanya, anak satu-satunya di keluarga. Dicuekin sama orangtuanya. Dibesarkan cuma sama pembantu dan supir. Ketika waktu SMA, disaat gue butuh arahan dari mereka, tapi mereka malah berpisah dan sama sekali gak peduli dengan perkembangan gue!”

“Disaat gue disodomi sama supir gue waktu SMP, gue gak pernah punya tempat untuk cerita. Gue gak pernah tahu sodomi itu apa. Gue mikir dengan disodomi waktu itu adalah bukti kasih sayang orang dewasa ke anak kecil.,karena waktu itu Supir gue emang sayang banget sama gue. sampai akhirnya pas SMA waktu gue tahu, ternyata itu salah. Tapi gue udah terlanjur menikmatinya. Gue tumbuh dengan segala kesalahan dan keganjilan ini semua tuh gara2 orang tua gue!!! jadi buat apa gue balik ke mereka. Toh mereka sama sekali gak peduli dengan gue! Mereka udah membesarkan gue dengan salah Mar! apakah pantas gue kembali ke mereka yang udah buat gue hancur, Hah?”

Sumpah guys, gue gak bisa berkata apa-apa. Temen gue si Randy nampak emosi banget. matanya berkaca-kaca. Urat di keningnya sampai bersitegang seolah ingin merobos keluar kulit kepala.

“Sekarang coba lu pikir. Dengan kehidupan gue yang udah nyaman sekarang. Gue bisa menghidupi gue sendiri dan mendapatkan perhatian dari orang-orang yang perhatian dengna gue, apakah itu salah? Orang-orang ini lebih sayang dan mencintai gue daripada kedua orangtua gue. Mereka lebih bisa menghidupi gue ketimbang kedua orangtua gue. Jadi, gak akan pernah gue balik ke kedua orangtua gue lagi. Titik!”

“Astaghfirullah Ran.. gak ada satupun orangtua yang gak sayang sama anaknya. Mereka pasti kangen sama lo. Gue percaya itu.”

“Mar, lo bisa bilang kayak gitu karena lo gak ngalamin apa yang gue alamin! Lo bisa bilang kayak gitu karena lo hidup ditengah-tengah keluarga yang agamis dan peacefull! Keluarga lo bahagia-bahagia aja. gak seperti keluarga gue.”

“Iya Ran, gue ngerti. Gue juga mencoba memahami apa yang lu rasakan. Tapi menurut gue gak ada salahnya kalau lo cari tahu keberadaan orangtua lo. Gak ada salahnya kan lu pulang ke bandung sebentar, sekedar ngecek kabar orangtua lo.”

“Gak akan! Please Mar… klo emang elu temen gue. Please, lo pahamin gue. Kenapa sih, lo gak seperti dulu lagi? Kenapa sih sekarang lo malah sok suci, lo gak bisa nerima gue seperti dulu lagi? Kenapa Mar? apa sekarang lo jijik temenan sama seorang Gigolo?”

“Bukan Ran.. Bukan itu maksud gue. Gue tetap mandang lo seperti dulu. Gue tetap menerima lo, keadaan lo. Lo sampai kapanpun akan tetap jadi teman gue. Ya hanya saja, gue berpikir, kenapa lo gak coba untuk memulai kehidupan yang baru? Itu aja maksud gue.”

“Kehidupan yang baru? Untuk apa hah? Gue udah bahagia dengan kehidupan gue yang sekarang.”

“Okay. Lu yakin, apakah lu bahagia?”

“Ya.”

“Lahir batin?”

“Ya. Jelas!”

“Bahagia dunia dan akhirat?”

Randy tercekat. Ia sudah membuka mulutnya untuk menjawab ‘Ya’ namun, tertutup lagi. Ia nampak ragu. Gue bisa melihat itu dari sorot matanya yang tiba-tiba menciut lemah.

“Kenapa Ran, kok diem?”

Randy menundukan kepalanya. Sesaat kemudian ia mengangkatnya kembali dan berkata, “Mar, jika memang lo masih menganggap gue sebagai teman lo. Sekali lagi, please banget Mar, terima kondisi gue apa adanya. Gue gak mungkin ninggalin dunia seperti ini Mar! gue hidup dari sini. Papi Ahong yang menghidupi gue. Ini kehidupan gue Mar.” Ujar Randy pelan.

“Mar, gue tetap ingat Allah kok. Agama gue masih Islam.” Tambahnya.

Gue pun menghela nafas panjang. Gue kesulitan harus dengan kalimat apalagi gue ngomong ke Randy.

“hm, Kalau itu sudah keputusan lo. Gue hargai itu. tapi Ran… satu pesan gue. Allah Maha pemberi rezeki. Allah adalah sumber kebahagiaan hidup. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” Ujar gue pelan.

“Ran, sampai kapan pun, lo akan tetap jadi teman gue. apapun kondisi lo. Tapi Randy, gue akan lebih berbahagia lagi jika lo mau berubah. Lo lihat merasakan sendiri kan, kalau hidup di dunia yang begitu tidak akan tenang. Selalu aja ada orang yang iri dan cemburu. Memfitnah lo dari kanan kiri. Terlepas dari benar ataupun salah, tetap saja. Hidup lo ini seperti dikelilingi panah beracun Ran!”

“Gue akan sangat bahagia sekali kalau lo mau merubah gaya hidup lo. Tapi jika lo masih mau bertahan. Ya itu keputusan dan hak lo. Gue sudah menjalankan kewajiban gue sebagai saudara lo. Jadi, kalau nanti di akhirat, setidaknya gue lega, karena gue udah berusaha untuk mengingatkan lo.”

Ada guratan kebimbangan di wajahnya. Matanya nampak berkaca-kaca dan ia tahan dengan keegoisan jiwanya yang keras kepala.

“Ya sudah Ran, gue pamit dulu. Jam sepuluh gue ada acara lagi.”

Gue pun bangkit dari posisi gue dan hendak keluar. Tiba-tiba Randi menarik tangan gue dan langsung memeluk gue.

“Mar, makasih ya. Lo emang temen gue. tapi, maaf Mar. Gue belum bisa. Gue percaya lo bisa mahamin gue. Pokoknya sebelum gue mati, gue janji, gue pasti berubah. Do’ain gue terus ya Mar.”

“Iya.”

Tok..Tok..Tok..

Tiba-tiba pintu kamar kos Randy terketuk pelan. Randy segera mengintip dari balik tirai kamarnya. Dan langsung menatap gue penuh kekhawatiran.

“Papi Ahong datang!” ucap Randy pelan.

“Duh gimana nih?” tanya gue resah.

“Udah. Tenang aja.”

Randy pun membuka pintu itu. gue pun bersiap dengan senyuman yang tegang karena dipaksakan.

“Eh mas… sudah datang. Ayo masuk!”

Seorang pria berumur sekitar tiga puluh tahun lebih masuk ke kamar kos Randy. Dengan menggunakan polo Shirt hitam dan celana jeans hitam berdiri tepat didepanku. Wajahnya yang oriental ditumbuhi rambut-rambut tipis yang menyambung dari jambang hingga dagu.  Dan matanya yang sipit bersembunyi di balik lensa kacamata minusnya memandang gue dengan keterkejutan yang luar biasa.

“Mas Koko?” kata gue pelan dengan ekspresi keterkejutan yang luar biasa.

Randy memandangiku dan Papi Ahong secara bergantian dengan keheranan. Gue pun langsung buru-buru pamitan. Membiarkan keterkejutan Pria itu dan Randy dalam kamar kosnya. Gue pun melangkah pulang dengan langkah yang ringan namun di hinggapi dengan beragam pertanyaan baru lagi.

“Jadi Mas Koko… Randy… Astaghfirullah!”



Hati gue pun terasa mulai gerimis. Gue beristighfar dalam hati semoga dilindungi dari hal-hal yang melenakan lagi menyesatkan. Amiin Ya Allahumma Amiin!

Masa lalu, dan aku ingin melupakanmu.




Masuk kuliah tinggal hitungan minggu. Kurang dari sebulan, gue bakalan mulai menginjakan kaki lagi di kampus hijau yang meneduhkan.

Ya sejujurnya gue udah lama banget menantikan hari bahagia itu tiba. Ketemu temen-temen. Mulai sibuk dengan tugas-tugas kuliah dan mendengarkan nasehat-nasehat dari dosen yang biasanya nih, setiap semesternya ada aja yang bikin gue jatuh hati alias kesem-sem dengan nasehat yang disampaikan itu.

Ugh, gue bener-bener udah gak sabaran mau membalas dendam gue di semester kemarin. Seperti yang udah gue ceritakan di notes gue sebelum-sebelumnya. Kisah tentang bagaimana IP gue semester kemarin merosot tajam. Innalillahi, Astaghfirullah…

Namun sayang guys, kesiapan gue itu belum dibarengi dengan kesiapan gue untuk menyambut jejak-jejak masa lalu gue bersama dia yang tertinggal dikampus. Meskipun sekarang dia sudah pergi jauh ke ujung timur pulau Indonesia sana tapi tetap aja yang namanya kenangan, jejak-jejak keindahan gue selama menghabiskan waktu dua tahun kemarin masih tertinggal hampir disemua sudut kampus. Tidak ada bagian dari sudut kampus yang tidak terjamah oleh masa lalu itu.

Gue sendiri sebenarnya sempat bingung, dilema, atau apapun lah itu namanya ya…

Gue gak tahu harus bagaimana menyikapi situasi seperti ini. Klo lu semua tahu, seharusnya apa dan bagaimana yang gue sikapi, please banget kasih tahu gue ya. Bisa via inbox FB, DM Twitter, SMS, BBM gue, atau lo bisa juga ngomong langsung ke gue. Gue bakal nerima lo semua dengan tangan terbuka. :D dan siapa yang ngasih saran yang terbaik, bakal dapat piring cantik plus tanda tangan gue di piring tersebut. Mau kan? Hmm, kalau kurang. Nanti gue tambahin deh dengan foto terbaru gue yang tampannya luar binasa. Yeaaah! ^___^

Guys, Mungkin bagi sebagian orang, temen-temen gue yang udah tahu masa-masa yang kemarin gue lalui itu. yang biasa gue sebut dengan masa hitam. Mungkin akan sedikit faham dengan notes yang gue tulis kali ini. Mungkin mereka tahu, siapa yang gue maksud ini dan bagaimana kisah pahit yang gue lalui bersama dia kemarin.

Guys, seperti yang sering gue bilang. Setiap orang itu memiliki masa lalunya masing-masing. Dan pastinya jika masa lalu itu pahit, tentu dia pasti ingin bangkit. Tidak ingin berlama-lama tenggelam dalam masa yang pahit itu. Ya begitupun gue. Bagi gue, dia adalah masa lalu gue yang pahit. Sangat pahit. Dan gue kepingin banget melupakan itu semua. Tapi apa daya, semakin gue berusaha dan ngotot untuk melupakan semua, rasa pahit itu semakin kuat. Aih, DAMN !

Gue nyaris aja putus asa. Kehilangan semangat gue untuk menata hidup dan hati gue yang udah hancur parah banget. Dia udah pergi dengan santainya ke pulau sebrang untuk melanjutkan hidupnya yang baru. Sedangkan gue? gue masih disini. Diam dan tegak berdiri dengan suatu perasaan yang gue sendiri tidak pernah dengan pasti pangkal ujungnya ada dimana?

Let’s singing guys,

Aku berjalan didalam kesendirian
Aku mencoba tak mengingatmu dan mengenangmu
Aku telah hancur lebih dari berkeping-keping
Karena cintaku
Karena rasaku yang tulus padamu
Begitu dalamnya aku terjatuh dalam kesalahan rasa ini !
Jujur, aku tak sanggup! Aku tak bisa! Aku tak mampu!
Dan aku tertatih
Semua yang pernah kita lewati tak mungkin dapat aku dustai
Meskipun aku harus tertatih…
                                                                        (Kerispatih – Tertatih)

Meskipun dengan langkah tertatih, gue pun akhirnya tetap memutuskan untuk bangkit. Berusaha dengan segenap tenaga yang masih tersisa untuk melanjutkan hidup gue sendiri. Gue gak mau ambil pusing lagi segala sesuatu yang berkaitan dengan dia. Gue tutup telinga gue rapat-rapat. Kuat-kuat. Cukup! Cukup kebodohan itu gue lakukan sampai disitu.

Hari demi hari gue lalui dengan berusaha mengumpulkan kepingan puzzle jati diri gue yang dulu. Gue merasakan kehilangannya semenjak gue mengenal dia di pertengan bulan September dua tahun silam. Dan akhirnya gue berhasil. Satu per satu puzzle itu mulai terkumpul walaupun masih ada yang hilang entah terselip dimana tapi gue akan tetap mencarinya. Gue mulai menjalani aktifitas gue seperti dulu lagi. Aktif diberbagai kegiatan positif dan sambil mencoba mengembangkan potensi potensi yang ada didalam diri gue.

Dan sampai akhirnya gue melihat perubahan dia pun juga cukup signifikan. Gue bisa merasakan itu ketika dia memulai BBM gue terlebih dahulu dan menanyakan sesuatu yang berada diluar jangkauan gue. Gue sama sekali gak menyangka dia akan menanyakan hal itu ke gue. Gue sempat berpikir kalau itu hanya sekedar basa basi tapi nyatanya tidak. Gue merasakan perubahan dia cukup luar biasa. Dengan hidup bersama kakaknya disana yang notebene kakaknya itu aktif dalam keagamaan, gue pikir dia juga sedikit demi sedikit mulai terpengaruh. Gue mulai merasakan dirinya menjadi positif. Sampai akhirnya barusan nih, gue baca status BBM dia yang akan mengajar dilingkungan pesantren dan memberikan pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu disana. Dahsyat!

Gue pun menjadi galau lagi deh… duh.. perasaannya jadi kepingin lagi bersay-hi ria dengan dia. tapi gue sadar, kalau gue mulai bersay-hi yang kurang penting. Justru hal itu yang akan menjadi racun tersendiri buat gue. Ibarat seperti gue menanam ranjau, eh malahan gue yang nginjek sendiri.

Yups.. yups..yups..

Finally, akhirnya sekarang gue cuman lagi mikir bagaimana caranya supaya gue nanti pas dikampus gak kebayang-bayang dia lagi. Gak kepikiran kenangan-kenangan itu lagi. Bagaimana? Apakah dengan menyibukan dengan hal-hal positif itu cukup efektif untuk melupakannya? Jika YA, katakan YA. Jika tidak? 
Hmm…. Please doooong kasih masukan ya?

Guys, gue jadi keingetan dengan salah seorang guru ngaji gue yang dulunya itu pas mau berangkat penempatan kerja ke daerah terpencil di pulau Sulawesi sana, beliau berujar, “Semoga Allah mempertemukan kita kembali didunia dengan pertemuan yang jauh lebih baik lagi.”

Ya kurang lebih begitu do’a dan harapan guru ngaji gue dulu sebelum ia benar-benar pergi. Dan nyatanya mungkin do’a dan harapan itu pas kali ya kalau gue katakan dalam kondisi gue yang saat ini.

Jika sekiranya memang ‘berjodoh’, gue percaya kok. Pastinya Allah akan mempertemukan lagi gue dengan dia. namun jika tidak, pastinya gue percaya kalau Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui niatan gue dan dia untuk sama-sama melepas masa lalu dan menggantinya dengan masa depan yang jauh lebih baik lagi. Amiin.

Terakhir nih..

Hmm, gue teringat dengan salah satu twit dari master golden ways kita, Pak Mario Teguh. Dalam motivasi yang ia sampaikan salah satunya ialah,

“Betapa pun buruk, nista, atau kelamnya masa lalumu, masa depanmu masih suci. Dan, masa lalumu tidak akan mempengaruhi masa depanmu. Kamu lah yang menentukan masa depanmu akan seperti apa!”

Selasa, 23 Agustus 2011

IBU SELALU TAHU...


Tiap kali menatap wajah ibu, hatiku akan bersimbah cinta…
Menelusuri tiap lekuk garis wajahnya yang menua..
Mengamati tiap helai rambutnya yang memutih..
Ku pandang ibu dalam lelap tidurnya..

Duhai Rabb, betapa muliah Engkau ciptakan dia.
Entah dari mana engkau bentuk hatinya yang begitu tulus..
Ku raba tangannya yang mulai keriput, tangan kasar namun bertabur berkah..
Ku ingin menciumnya agar berkah itu mengalir padaku..

Duhai penguasa jagad raya..
Alangkah tegar dia Kau bentuk, namun betapa lembut kasihnya Kau curahkan..

Ibu..
Menggoreskan tentangmu, tak akan ada kata yang mampu mewakilkannya..
Menggambarkan indahmu tak ada tinta yang mampu mewarnai sucimu..
Menguntai kata terindah untukmu, tak akan ada pujangga yang mampu menuliskan keagunganmu..

Ibu..
Bisa apa aku tanpamu..?

Saat ku gelisah, kau tau ada yang mengganggu fikirku.. Dan belaianmu mampu menenangkanku..
Saat ku menangis, kau tahu ada yang mengusik hatiku.. Dan senyumanmu akan mendamaikan qalbuku..
Ketika malam tiba, kau tahu ku takut gelap.. Dan aku akan segera mendapatkan pelukanmu, dan sirna sudah takutku.. Ketika ku sakit, ibu tahu penderitaanku, dan ku yakin dia merasakan jauh lebih sakit dari yang ku rasakan, akan ku temukan raut sedih dan air mata tiap menatapku yang lemah.

Ibu tahu betapa sedihnya aku ketika ku gagal meraih apa yang ku inginkan.. Dan dia akan memacu semangatku lagi.

Ibu tahu saat ku jatuh cinta, dan senyumnya akan menggodaku, namun nasihatnya membuatku tak berani melangkah terlalu jauh..

Ibu tahu ketika ku lelah, pijatannya mampu mengantarku dalam tidur yang lelap.. Ibu tahu tiap detail kesukaanku.. Dan apa yang tak kusuka. Ibu tahu semua makanan favoritku..

Ibu tahu saat ku begadang mengerjakan tugas-tugasku, dan akan ku temukan segelas susu atau kopi hangat di atas mejaku..

Ibu tahu, aku begitu sibuknya dan tak sempat membereskan kamar dan pakaian kotorku sehingga dia yang mengerjakan semuanya..

Ibu tahu ketika ku pulang, aku akan begitu laparnya sehingga tiap ku tiba, di meja telah tersaji makanan favoritku.. Ketika ku jauh dari ibu..

Ibu tahu saat ku rindu padanya, maka tak lama HP ku akan berdering dan ibulah yang menelponku.. Saat ku sakit ibu tahu, dan jauh di sana ibupun akan gelisah.. Ibu pun tahu betapa besarnya cintaku padanya, walau..

Aku tak pernah tahu, bila ibu sakit, aku tetap lelap dalam tidurku.. Dan ibu akan tertatih meraba mencari obat sendiri untuk mengatasi sakitnya..

Aku tak pernah tahu, bila ibu galau, dan aku mengabaikan keluhannya.. Dan ibu akan memikirkan masalahnya sendiri..

Aku tak pernah tahu, ketika ibu lelah mengurusi smua kebutuhanku, dan tak ku pedulikan rintihan pegal badannya.. Dan ibu akan mengatasi pegalnya dengan mencoba memijat dirinya sendiri..

Aku tak pernah tahu jika ibu melarangku, itu untuk kebaikanku, dan aku berlalu dari hadapannya dengan wajah tertekuk, dan ibu terluka..

Aku tak pernah tahu, jika ibu mengomel, itu smua agar aku tak melakukan kesalahan yang sama lagi. Namun ku membalas dengan kata-kata yang mampu melukai hatinya..

Aku tak pernah tahu, betapa sedihnya ibu saat ayah tiada, dan aku pun dengan mudahnya memutuskan bekerja di tempat yang jauh, meninggalkan ibu dalam sepinya..

Aku tak pernah tahu betapa takutnya ibu kehilanganku, saat ku memutuskan untuk menikah.. Dan setelahnya ku sibukkan diriku dengan keluarga baruku, dan mengabaikan ibu dalam sendirinya..

Ibu.. Selalu tahu.. Namun aku.. Tak pernah tahu.. “Allahummaghfirlana wa li walidaina warhamhuma kama rabbayana shighara” Amin….amin ya Rabbal alamin.

(www.oaseimani.com)

**Special for my beloved mommy, Hj. Tati Sarnawati. Semoga Allah selalu meridohimu, Bu!


Kisah Dua Tukang Sol


 Mang Udin, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol. Pagi buta sudah melangkahkan kakinya meninggalkan anak dan istrinya yang berharap, nanti sore hari mang Udin membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.

Perut mulai keroncongan. Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa membawa uang ke rumah. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.

Di tengah keputusasaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.

“Bagaimana dengan hasil hari ini bang? Sepertinya laris nich?” kata mang Udin memulai percakapan.

“Alhamdulillah. Ada beberapa orang memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Soleh.

“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata mang Udin memelas.

“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”

“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.

“Justru dengan bersyukur, nikmat kita akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.

“Emang begitu bang?” tanya mang Udin, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.

“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.

Mang udin sedikit kikuk, karena dia tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.

“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya kita diberi rezeki yang barakah.”

Akhirnya, mang Udin mengikuti bang Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid, sepertinya sering ke masjid tersebut.

Setelah shalat, bang Soleh mengajak mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,

“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”

Akhirnya mang Udin ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,

“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”

“Tenang saja, Allah akan menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.

“Abang yakin?”

“Insya Allah.” jawab bang soleh meyakinkan.

“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.

“Insya Allah. Allah akan menolong kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.

Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.

“Apa kabar mang Udin?”

“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah mengikuti saran Abang, tapi mengapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini, satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.

Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian berkata,

“Masih ada hal yang perlu mang Udin lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”

“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin penasaran.

“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,

“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”

“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap tersenyum.
Mang Udin cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia 
“hanya” coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.

“Bagaimana supaya yakin bang?” kata mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.

Rupanya, bang Soleh sudah menebak, kemana arah pembicaraan.

“Saya mau bertanya, apakah kita janjian untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.

“Tidak.”

“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan 3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat berpikir dalam. 

Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”

Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.

“OK dech, saya paham. Selama ini saya akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”

Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih baik.

(Sumber : www.motivasi-islami.com)

Mereka yang menikah di usia muda

DAMN !!! 
Subhanallah banget nih... pernikahannya Dian Pelangi dan Mas Tito. Bener-bener deh bikin gue semakin membulatkan tekad untuk menikah muda cuy. Eits tapi, maksud gue disini nikah muda bukan terburu-buru nikah karena saking udah kagak nahannye. Bukan. Bukan itu... 

Gue suka banget nih dengan konsepnya Dian dan Mas Tito. Luar biasa. Persis dengan apa yang selama ini gue bayangkan tentang pernikahan gue nantinya bakal kayak apa.

Jika ngomongin nikah muda gue jadi teringat dengan beberapa teman gue yang melakukan hal yang luar biasa itu (sebenarnya gue mau bilang, hal nekat bin gila bin ajaib, tapi gak enak nyebutnya! hihihi) 

Jadi gini, sekitar pertengahan tahun 2009 yang lalu, ada seorang teman gue. Lumayan dekat. Selain gue sama dia udah kenal dari jaman SMP, saat itu gue juga kebetulan satu kerjaan sama dia. Sama-sama bekerja sebagai seorang peyiar radio komunitas yang ada di jakarta selatan. 

Gue rasa pada waktu itu bukan hanya gue sendiri yang shock ketika sebuah undangan sederhana berwarna kuning muda tergeletak pasrah di atas meja ruang siaran. Sepasang nama tertera disana sebagai sepasang calon pengantin. Semua dibuat surprise oleh rekan kerja di radio itu. Dia betul-betul telah mengambil keputusan berani untuk menikah di usianya yang belum genap 20 tahun. Bukan hanya sampai disitu. Keputusan berani itu pun dia ambil yaitu dengan cara menikahi seorang gadis yang usianya baru 18 tahun dan baru saja menanggalkan seragam putih abu-abu. Gadis yang di nikahinya itu ternyata, usut punya usut, setelah diketahui ternyata adalah pendengar setia radio gue bekerja dulu itu.

GILA.. bener2 GILA bagi gue. Gue gak sampai kebayang kalau dia berani mengambil keputusan senekat itu (sorry to say ya, gue bilang gitu). Soalnya selain si temen gue ini belum punya pekerjaan tetap dan gak kuliah juga, si ceweknya baru banget lulus SMA.

Satu lagi nih kisahnya hampir sama. tapi bedanya, klo yang ini temen deket gue sewaktu di SMA. Baru banget beberapa bulan yang lalu. Tepatnya bulan Juli, temen deket gue yang asli Sulawesi ini nikah. Bener, sama persis dengan apa yang gue rasakan. Semua temen2 satu angkatan di SMA, guru2, adik2 kelas yang kenal dia ikut2an shock mendengar kabar bahagia itu. 

Singkat cerita, gue dan beberapa teman dekat gue datang menghadiri pernikahannya dengan beragam rasa tidak percaya. Apalagi saat tiba di acara pernikahannya di masjid Komplek DPR MPR RI di Kalibata. Melihat temen deket gue itu pakai baju pengantin putih2, rasa-rasanya masih melihat dia seperti menggunakan baju seragam putih abu2. Tapi lagi-lagi ini adalah pilihan. Dan gue, maupun teman-teman gue yang lainnya ngasih standing applause buat sohib gue yang satu itu. 

Setelah hari pernikahan itu, gue akhirnya mendengar cerita tentang keputusan sohib gue itu menikah muda. Salah seorang sahabat gue lainnya yang kebetulan menjadi panitia pernikahan pada waktu itu akhirnya menceritakan semuanya setelah sebelumnya gue dan temen2 gue lainnya juga pada nanya. Penasaran.
Setelah mendengar cerita itu. cukup banyak perasaan dihati gue yang ikut bercampur aduk menjadi satu. Tapi terlepas dari semua yang gue rasakan itu, gue tetap salut. Karena ya memang pada intinya gue percaya bahwa si sohib gue semasa SMA itu benar-benar membuktikan bahwa dia adalah seorang lelaki sejati yang telah berani mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Yaitu untuk menikah muda di usianya yang baru saja genap 20 tahun tanggal 22 agustus 2011 kemarin dan menikahi gadis yang usianya terpaut jauh lebih tua 10 tahun darinya. Sungguh luar biasa. 

Guys, berangkat dari keputusan-keputusan besar temen2 gue itu akhirnya membuat gue berpikir nih. Apakah gue akan mengambil keputusan yang sama seperti mereka? apakah gue mampu mengambil keputusan seberani itu? gue pun mulai mengukur diri.

Guys, gue pun sekarang sudah menemui jawabannya. 

Ya. Setiap manusia sudah memiliki ketetapan hidupnya masing2 dari Allah swt. termasuk untuk masalah kapan ia akan menikah. Gue menyadari betul bahwa gue belum bisa melakukan hal yang seberani dan sejantan kedua teman baik gue itu. Belum berani. 

Gue belum berani mengambil langkah seperti itu karena setelah mengukur diri dan merenung, cukup ada banyak hal yang menjadi pertimbangan gue. 

Jika ada yang bilang, kalau untuk kebaikan itu jangan banyak mikir, kalimat itu untuk kali ini gak berlaku buat gue. kenapa? ya karena begini guys... gue nantinya sebagai cowok yang akan menjadi suami dan imam dalam rumah tangga gue haruslah bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga gue. istri dan anak-anak gue. 

Nah, disitulah yang menjadi pertimbangan gue. 

Okay, kalau masalah keinginan insya Allah gue sudah siap untuk menikah. Tapi ya untuk masalah kesiapan financial, pendidikan anak, dan lain sebagainya, gue rasa gue masih perlu banyak belajar dan persiapan.
memang, ada kalimat yang mengatakan bahwa dengan menikah Allah akan melapangkan rezeki. Jangan khawatir untuk masalah rezeki. Insya Allah jika untuk kebaikan Allah pasti akan membantu. 

Yups, gue setuju dengan kalimat itu. Tapi, kita juga harus berpandangan realitis. Kita harus melihat tantangan jaman sekarang ini. Tantangan perekonomian. pendidikan, dan lain sebagainya. Lalu jika kita sudah sadar akan kedahsyatan tantangan itu, cukupkah kita hanya bermodalkan dengan keyakinan bahwa Allah akan melapangkan rezekinya untuk kita? Tentu tidak! Kita juga harus dimodali dengan usaha kerja keras untuk mendapatkan itu semua.

Guys, .. Sahabat muda yang tengah berbunga-bunga karena cinta..
Menikah memang mudah, tapi kehidupan setelah pernikahan tidaklah mudah.

Mari, sebelum kita membuat keputusan besar dalam hidup kita. Alangkah baiknya kita juga memikirkan terlebih dahulu bagaimana kehidupan kita nantinya setelah pernikahan. Sudah cukupkah modal kita untuk membangun rumah tangga?

Klo gue pribadi menginginkan pernikahan yang sekali-sekalinya dalam seumur hidup gue itu menjadi pernikahan yang barakah dan juga terindah bagi istri gue. Gue gak mau ngebikin acara yang ‘flat’… gue mau buat acara pernikahan yang Wah !

Dari sedini mungkin,kita harus mempersiapkan konsep dengan matang. Baru setelah itu, laksanakan apa yang telah kita impikan selama ini. Yaitu, membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.

** NB : semua ini sekadar opini gue aje ye... klo ada yang mau ngasih masukan, yoo monggo :D