24 Agustus 2011 / 25 Ramadhan 1432 H..
Guys, masih ingat kan dengan kisah gue di notes sebelumnya? TABAYYUN (Cerita Pagi). Masih inget kan? Nah klo masih inget, ini dia lanjutan kisahnya. Bagi yang belum baca part yang sebelumnya. mohon dibaca juga ya.. takutnya kurang nyambung. Hehehe. Ini semua based on true story. Baruu aja terjadi. Nama tokohnya gue samarin ya guys... Mohon maaf juga sebelumnya nih, kalau misalnya nanti ditengah-tengah cerita ada satu-dua kalimat yang kurang ngeh dibacanya ya. Terima kasih dan selamat membaca... ^____^
***
Dengan mengucapkan bismillah berkali-kali dan memohon perlindungan Allah swt, gue pun akhirnya sampai di Masjid Agung Al Azhar. Berniat untuk memarkirkan motor disana. Mengapa?
Memang jika dilihat keefektifan dan efesiensinya emang lebih enak naik motor langsung kesana. Tapi gue punya maksud lain yaitu, menghindari tawaran dia untuk jalan-jalan. Karena sebelumnya ia sudah bilang kalau mau ngajakin jalan. Nah karena gue lebih memilih untuk mewanti-wanti hal-hal yang tidak diinginkan terjadi maka, gue lebih memilih untuk naik busway dan turun di halte Setiabudi.
Jam di pergelangan tangan gue sudah menunjukan pukul tujuh lewat dua lima menit. Gue berjalan di pinggiran trotoar depan gedung-gedung perkantoran yang tingginya seolah saling berlomba mencakar langit. Siapa yang paling tinggi seolah dialah yang keluar sebagai pemenang. Udara sejuk pagi kota Jakarta masih kental terasa walaupun tidak sesejuk kota-kota lainnya di Indonesia yang belum tercemar hebat polusi kendaraan maupun limbah. Tapi memang benar, saat itu gue merasakan udara paginya segar dan cukup membuat gue nyaman berjalan santai sambil mencari alamat.
Setelah melewati gedung perkantoran yang bertuliskan SONA TOPAS, gue pun mencari-cari gang yang dimaksud temen gue itu dan sekitar lima puluh meter dari situ gue akhirnya menemukan gang yang dimaksud. Ternyata gang itu berada persis disamping gedung HSBC dan WTC. Letak gangnya tidak terlalu jauh dari halte busway karet.
Gue berjalan pelan memasuki gang itu sambil terus mencoba menghubungi teman gue itu. sampai akhirnya gue berada di persimpangan jalan. Gue bingung nih, belok kanan atau kiri ya?
Cukup lama gue menunggu BBM gue delivered dan di read sama temen gue itu. Mungkin ada sekitar lima belas menit. Dia meminta gue untuk berjalan ke kiri sampai bertemu gang sebelum masjid. Masuk lurus terus sampai ketemu rumah kosan berwarna kuning muda agak ke krem-kreman gitu.
Sepanjang jalan memasuki gang dekat masjid berukuran sedang dan berkubah hijau itu, gue mengamati lingkungan sekitar tempat teman gue itu tinggal. Pemukiman padat khas orang pinggiran kota Jakarta. Rumah-rumah saling berhimpit. Gang-gang sempit hanya berjarak sekitar satu sampai satu setengah meter. Ditambah got-got hitam di kanan-kirinya.
Langkah gue terhenti ketika di ujung gang sebelum belokan ke arah kanan. Gue melihat sebuah bangunan cukup besar berwarna kuning muda agak kekrem-kreman gitu lah pokoknya.
Pelan, pelan, dan pelan gue buka pintu gerbang itu. Suara decitan engsel pintu yang kurang minyak pun langsung terdengar. Entah mengapa, jantung gue berdegup kencang.
“Ya Allah kuatkan hamba. Semua ini hamba lakukan demi mencari sebuah kebenaran dan mencoba menyampaikan kebenaran jika memang harus hamba sampaikan kepadanya. Ya Allah, jangan biarkan hamba tergoda. Lindungi hamba dari hal-hal yang melenakan jiwa. Amiin ya Allah.”
Gue pun mulai memencet bel. Setelah beberapa kali terpencet. Pintu utama kosan itu terbuka. Seorang pemuda berwajah bulat, alis tebal, dan berkulit sawo matang membuka pintu. Seraya tersenyum ramah dan menyambut kedatangan gue.
“Cari siapa mas?” tanyanya sambil mengembangkan senyum. Matanya ikut mengamati tubuh gue. dari atas sampe bawah. Dari bawah berhenti di tengah, … eh.. ops… salah.. maksudnya dari bawah sampe ke atas lagi. >> “maksud nih orang apa sih pake ngeliatin gue kayak gitu. Ada yang salah dengan baju yang gue pakai kah?” tanya gue dalam hati sambil mandangin baju kemko (kemeja-koko) warna putih yang gue gulung sampai siku plus celana jeans abu-abu. Pokoknya tetap stylist lah!
“Mas, mau cari siapa?”
“Eh, anu mas…”
Duh, kenape gue jadi grogi gini sih!
“Anu , kenapa anu saya?”
“Hm, maksudnya saya mau cari anu temennya mas.”
Si bell boy itu makin mengernyitkan keningnya. Gue pun makin garuk2 pantat. Ops, salah.. maksudnya garuk-garuk kepala, pundak, lutut kaki, lutut kaki (3X)
“Saya cari temen saya mas. Randy. Katanya sih ngekos disini.”
“O. iya..iya.. tuh ada di kamar 11 A. masuk aja mas.”
Sambil permisi-permisi gue pun masuk ke rumah kos-kosan yang lebih mirip rumah X. rumah berlantai dua itu berlorong gelap alias kurang pencahayaan dari luar dan terkesan ‘dingin’, tidak sehangat kos-kosan yang dulu sering gue kunjungi di kampus Jurang Mangu.
Tok..Tok..Tok..
Pintu terbuka dan…
“Eh mar.. masuk..masuk!”
Gue masih diem mematung di depan pintu sambil bengong, mengernyitkan kening, dan gak tahu deh muka gue saat itu kayak apa ekspresinya. Ketakutan mulai menjalar keseluruh tubuh gue.
“Ran, pakai baju dulu lo. Gak sopan banget ngejamu tamu Cuma pake CD doang! Ogah ah gue masuk. Sono pake baju dulu.”
“Yaelah, masih kaku aja sih lo. Udah masuk cepet. Ada anjing gila lo disini.”
Dengan terpaksa gue masuk sambil mengedarkan pandangan kesekeliling isi kamar kosnya. Randy, temen gue itu pun masuk ke dalam kamar mandi mengenakan pakaian yang jauh lebih pantas menjamu tamu dibanding yang tadi.
“Sorry, gue habis mandi. Gue kira tadi siapa. Gue kira temen gue di kos sini. Kalau disini soalnya udah biasa klo cuman pake CD doang.”
“Hah?”
“Iya. Ini kan kosan cowo. Jadi nyantai aja lagi.”
Duh sumpah.. kepala gue mulai pusing. Gue gak mau membahas masalah pakaian dalam alias underwear, alias celana dalem, alias apapun itu, Ah elah… gak enak banget deh!
“Mau minum apa?”
“Minum?”
“Ya Tuhan, Oh. God! Sorry.. sorry, gue lupa lo puasa.”
“Gak papa kok. Lo puasa juga kan?” tanya gue. Randy pun mematahkan pertanyaan gue dengan balik bertanya.
“jadi ada hal penting apa yang mau lu sampe-in ke gue?”
Gue pun langsung menjelaskan tanpa perlu banyak berbasabasi lagi. Gue ceritakan semua berita tentang dia yang gue denger setahun belakangan ini. Dari mulai A sampai Z. Randy Cuma senyum-senyum geli mendengar cerita gue. setelah gue selesai cerita, dia langsung menanggapinya dengan santai.
“Terus lo percaya dengan semua berita yang beredar tentang gue?”
“Ya kalau seandainya gue pun percaya dengan berita itu, ya gak mungkin lah Ran gue kesini. Susah payah selama ini nyari-in lo.”
“Begini Mar, kalau seandainya memang gue criminal, gak mungkin dong gue bisa dengan bisa leluasanya keluar masuk Jakarta. Pergi kesana kemari keluar kota. Iya kan? Pastinya gue udah jadi buronan polisi.”
Gue ngangguk-ngangguk pelan mencoba mencerna ucapannya.
“Jadi semua tuduhan selama ini yang bilang lo bawa kabur uang tante lo, uang si X, uang si Z.. semua itu Cuma gossip dong. Cuma fitnah. Bener begitu?”
“Ya. Begitulah kurang lebih.”
“Kurang lebih?”
“Jadi begini Mar. Gue terbang ke Makassar. Ke Bali. Ke Surabaya. Ke Jakarta. Ke Samarinda. dan lain sebagainya itu, sebagian besar memang dibiayai oleh orang yang ngajakin ketemuan sama gue. Lo tahu sendiri kan hidup gue kayak gimana? Gue bukan kayak lo Mar, yang bisa berjuang di bangku kuliah untuk bisa mendapatkan ijazah kuliah. Gue Cuma lulusan SMA dengan nilai yang pas-pasan. Dan untuk gue bisa tetap bertahan hidup, gue butuh kerjaan mar ! Apapun itu akan gue kerjakan.”
“Singkatnya, setelah gue sering update distatus FB, gue bilang lagi nyari kerjaan, pasti ada aja yang nawarin gue kerjaan. Ada yang bilang, ‘udahlah Ran, kamu sekalian aja tinggal sama saya.’ Dan lain sebagainya.”
“Hm gue yakin mar, lo pasti ngerti cerita gue. Lo tahu persis gue siapa kan? Gue pun mengiyakan setiap tawaran yang datang ke gue, dengan syarat juga, gue liat-liat dulu, orang itu type gue atau gak.”
Kali ini gue menggelengkan kepala pelan dan menyela perkataannya.
“Jadi lo masih…”
Kalimat gue terpotong. Randy langsung menyerobot meneruskannya.
“Iya..iya. Masih! Gue sekarang masih begitu.”
‘Astaghfirullahaladzhim! Ya Allah, luruskan temen hamba ini ya Allah. Selamatkan dia dari kesemuan kenikmatan dunia yang menyesatkan ini ya Allah.’
“Lo kenapa mar, kok kayak shock gitu? Kayak baru tahu aja.”
“Ah, enggak.. enggak kenapa-napa. Terus..terus.. sekarang lo bisa sampai disini gimana?”
“Jadi sekarang gue sampai disini dibeli-in tiket sama si ‘Papi’. Ya dia yang biayain gue.”
“Terus, kos-kosan ini, si Papi lo itu juga yang bayarin?”
“Ya gaklah. Ini gue sendiri. Gue balik ke kantor gue tuh yang didepan. Gue ikut sama agen gue yang lama. Kecuali semua ini.. tv flat+satelit, dvd,.. semua dia yang beliin.”
“Emangnya si Papi lo yang sekarang ini kerjanya apaan?”
“Staf Kementrian X.”
“What???????”
“Yaelah, santai aja dong mar. gak usah kaget gitu!”
“Yaelah, santai aja dong mar. gak usah kaget gitu!”
“Ya Allah Randy. Lo mau sampai kapan sih begini?”
“Hm, mulai deh! Males ah gue…”
“Okay..okay.. gue gak nyeramahin lo. Nah, sekarang kan udah jelas.. lo udah bilang kalau ternyata selama ini lo Cuma di fitnah kan. Lo gak bener-bener ambil uang tante lo. Kenapa sih lo gak balik aja tinggal di Bintaro sama tante lo. Disana kan lo bisa hidup enak Ran.. lo bisa kuliah di biayain sama tante lo. Lo hidup bareng sama sepupu-sepupu lo. Jadi apa yang kurang? Semua serba terjamin Ran.”
“Ah males juga gue sama lo. Gak usah bahas keluarga kenapa sih?”
“Lho, gue kan Cuma tanya. Klo memang lo gak bersalah, lo seharusnya balik ke keluarga lo dong Ran. Atau minimal lo balik ke Bandung. Nemuin kedua orangtua lo. Dengan begitu, lo kan bisa….”
Kalimat gue terpotong sampai disitu. Randy terburu memegang pundak gue kuat-kuat sambil menatap gue tajam.
“Mar, dengar ya! Lo tahu gak kenapa gue jadi seperti sekarang ini tuh gara-gara siapa? Semua ini tuh gara-gara kedua orang tua gue tahu gak?!!” Ujar Randy dengan nada yang tinggi dan menghempaskan pundak gue dengan keras sampai membentur tembok.
“Orang tua gue gak pernah ada waktu buat gue. Mereka Cuma sibuk dengan dunianya masing-masing. Egonya masing-masing. Sampai akhirnya mereka bercerai. Dan itu semakin memperburuk keadaan gue!”
“Dan lo juga mesti tahu Mar… bagaimana rasanya, anak satu-satunya di keluarga. Dicuekin sama orangtuanya. Dibesarkan cuma sama pembantu dan supir. Ketika waktu SMA, disaat gue butuh arahan dari mereka, tapi mereka malah berpisah dan sama sekali gak peduli dengan perkembangan gue!”
“Disaat gue disodomi sama supir gue waktu SMP, gue gak pernah punya tempat untuk cerita. Gue gak pernah tahu sodomi itu apa. Gue mikir dengan disodomi waktu itu adalah bukti kasih sayang orang dewasa ke anak kecil.,karena waktu itu Supir gue emang sayang banget sama gue. sampai akhirnya pas SMA waktu gue tahu, ternyata itu salah. Tapi gue udah terlanjur menikmatinya. Gue tumbuh dengan segala kesalahan dan keganjilan ini semua tuh gara2 orang tua gue!!! jadi buat apa gue balik ke mereka. Toh mereka sama sekali gak peduli dengan gue! Mereka udah membesarkan gue dengan salah Mar! apakah pantas gue kembali ke mereka yang udah buat gue hancur, Hah?”
Sumpah guys, gue gak bisa berkata apa-apa. Temen gue si Randy nampak emosi banget. matanya berkaca-kaca. Urat di keningnya sampai bersitegang seolah ingin merobos keluar kulit kepala.
“Sekarang coba lu pikir. Dengan kehidupan gue yang udah nyaman sekarang. Gue bisa menghidupi gue sendiri dan mendapatkan perhatian dari orang-orang yang perhatian dengna gue, apakah itu salah? Orang-orang ini lebih sayang dan mencintai gue daripada kedua orangtua gue. Mereka lebih bisa menghidupi gue ketimbang kedua orangtua gue. Jadi, gak akan pernah gue balik ke kedua orangtua gue lagi. Titik!”
“Astaghfirullah Ran.. gak ada satupun orangtua yang gak sayang sama anaknya. Mereka pasti kangen sama lo. Gue percaya itu.”
“Mar, lo bisa bilang kayak gitu karena lo gak ngalamin apa yang gue alamin! Lo bisa bilang kayak gitu karena lo hidup ditengah-tengah keluarga yang agamis dan peacefull! Keluarga lo bahagia-bahagia aja. gak seperti keluarga gue.”
“Iya Ran, gue ngerti. Gue juga mencoba memahami apa yang lu rasakan. Tapi menurut gue gak ada salahnya kalau lo cari tahu keberadaan orangtua lo. Gak ada salahnya kan lu pulang ke bandung sebentar, sekedar ngecek kabar orangtua lo.”
“Gak akan! Please Mar… klo emang elu temen gue. Please, lo pahamin gue. Kenapa sih, lo gak seperti dulu lagi? Kenapa sih sekarang lo malah sok suci, lo gak bisa nerima gue seperti dulu lagi? Kenapa Mar? apa sekarang lo jijik temenan sama seorang Gigolo?”
“Bukan Ran.. Bukan itu maksud gue. Gue tetap mandang lo seperti dulu. Gue tetap menerima lo, keadaan lo. Lo sampai kapanpun akan tetap jadi teman gue. Ya hanya saja, gue berpikir, kenapa lo gak coba untuk memulai kehidupan yang baru? Itu aja maksud gue.”
“Kehidupan yang baru? Untuk apa hah? Gue udah bahagia dengan kehidupan gue yang sekarang.”
“Okay. Lu yakin, apakah lu bahagia?”
“Ya.”
“Lahir batin?”
“Ya. Jelas!”
“Bahagia dunia dan akhirat?”
Randy tercekat. Ia sudah membuka mulutnya untuk menjawab ‘Ya’ namun, tertutup lagi. Ia nampak ragu. Gue bisa melihat itu dari sorot matanya yang tiba-tiba menciut lemah.
“Kenapa Ran, kok diem?”
Randy menundukan kepalanya. Sesaat kemudian ia mengangkatnya kembali dan berkata, “Mar, jika memang lo masih menganggap gue sebagai teman lo. Sekali lagi, please banget Mar, terima kondisi gue apa adanya. Gue gak mungkin ninggalin dunia seperti ini Mar! gue hidup dari sini. Papi Ahong yang menghidupi gue. Ini kehidupan gue Mar.” Ujar Randy pelan.
“Mar, gue tetap ingat Allah kok. Agama gue masih Islam.” Tambahnya.
Gue pun menghela nafas panjang. Gue kesulitan harus dengan kalimat apalagi gue ngomong ke Randy.
“hm, Kalau itu sudah keputusan lo. Gue hargai itu. tapi Ran… satu pesan gue. Allah Maha pemberi rezeki. Allah adalah sumber kebahagiaan hidup. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” Ujar gue pelan.
“Ran, sampai kapan pun, lo akan tetap jadi teman gue. apapun kondisi lo. Tapi Randy, gue akan lebih berbahagia lagi jika lo mau berubah. Lo lihat merasakan sendiri kan, kalau hidup di dunia yang begitu tidak akan tenang. Selalu aja ada orang yang iri dan cemburu. Memfitnah lo dari kanan kiri. Terlepas dari benar ataupun salah, tetap saja. Hidup lo ini seperti dikelilingi panah beracun Ran!”
“Gue akan sangat bahagia sekali kalau lo mau merubah gaya hidup lo. Tapi jika lo masih mau bertahan. Ya itu keputusan dan hak lo. Gue sudah menjalankan kewajiban gue sebagai saudara lo. Jadi, kalau nanti di akhirat, setidaknya gue lega, karena gue udah berusaha untuk mengingatkan lo.”
Ada guratan kebimbangan di wajahnya. Matanya nampak berkaca-kaca dan ia tahan dengan keegoisan jiwanya yang keras kepala.
“Ya sudah Ran, gue pamit dulu. Jam sepuluh gue ada acara lagi.”
Gue pun bangkit dari posisi gue dan hendak keluar. Tiba-tiba Randi menarik tangan gue dan langsung memeluk gue.
“Mar, makasih ya. Lo emang temen gue. tapi, maaf Mar. Gue belum bisa. Gue percaya lo bisa mahamin gue. Pokoknya sebelum gue mati, gue janji, gue pasti berubah. Do’ain gue terus ya Mar.”
“Iya.”
Tok..Tok..Tok..
Tiba-tiba pintu kamar kos Randy terketuk pelan. Randy segera mengintip dari balik tirai kamarnya. Dan langsung menatap gue penuh kekhawatiran.
“Papi Ahong datang!” ucap Randy pelan.
“Duh gimana nih?” tanya gue resah.
“Udah. Tenang aja.”
Randy pun membuka pintu itu. gue pun bersiap dengan senyuman yang tegang karena dipaksakan.
“Eh mas… sudah datang. Ayo masuk!”
Seorang pria berumur sekitar tiga puluh tahun lebih masuk ke kamar kos Randy. Dengan menggunakan polo Shirt hitam dan celana jeans hitam berdiri tepat didepanku. Wajahnya yang oriental ditumbuhi rambut-rambut tipis yang menyambung dari jambang hingga dagu. Dan matanya yang sipit bersembunyi di balik lensa kacamata minusnya memandang gue dengan keterkejutan yang luar biasa.
“Mas Koko?” kata gue pelan dengan ekspresi keterkejutan yang luar biasa.
Randy memandangiku dan Papi Ahong secara bergantian dengan keheranan. Gue pun langsung buru-buru pamitan. Membiarkan keterkejutan Pria itu dan Randy dalam kamar kosnya. Gue pun melangkah pulang dengan langkah yang ringan namun di hinggapi dengan beragam pertanyaan baru lagi.
“Jadi Mas Koko… Randy… Astaghfirullah!”
Hati gue pun terasa mulai gerimis. Gue beristighfar dalam hati semoga dilindungi dari hal-hal yang melenakan lagi menyesatkan. Amiin Ya Allahumma Amiin!