Lihat, Baca, Dan Resapi!
Aku hanyalah manusia biasa yang ingin bercerita...

Edisi

Total Tayangan Halaman

Senin, 19 Desember 2011

CINTA DIAM DIAM

Sumpah gue nggak tahu harus bilang kayak gimana, yang jelas malam ini perasaan gue campur aduk. Ada perasaan bahagia, terkejut, sekaligus dilema!

Gue bahagia banget ngelihat foto-foto terbaru pacar gue di FB, dia kelihatan jauh lebih berisi. Sempat gue komentar ke dia via BBM beberapa waktu lalu.

Gue bilang, "Sayang, kamu makin berisi deh semenjak dinas disana?"

"Iya sayang, kalau disini nggak banyak-banyak makan, jaga stamina, bisa-bisa kena sakit malaria," balasnya.

at least gue senang banget melihat kondisi pacar gue baik-baik aja disana dengan kondisi badan yang sehat. Dia jauh kelihatan lebih tampan dan Ahhh... rrrrrr banget deh! Hihihi...

Dan gara-gara gue lihat foto-foto terbaru dia, gue jadi bener-bener kangen banget sama dia nih :'(
Pengen banget dia balik ke Jakarta...ada disamping gue...meluk gue, dan belai-belai rambut gue lagi sampai gue tidur. Ughh... miss you honey!

Eits.. eh eh tapi, kalau pacar gue ada di Jakarta, apakah mungkin gue masih bisa memiliki rasa yang sama dengan dia?

Ya, Dia...

Dia orang yang baru gue kenal sekitar beberapa bulan yang lalu, tapi resmi kenal bener-bener kenalan itu.. hmm, kurang lebih sekitar dua minggu yang lalu.

Sebenarnya sudah sejak lama banget gue merhatiin dia. Mungkin tekhnisnya bagaimana, cuma dinding-dinding cafe cangkir yang bisa menceritakannya. ^_^"

Gue pertama kali lihat dia itu ya di cafe cangkir, dan gue shock banget ketika Tuhan memberikan gue kesempatan untuk bisa kenalan dengannya. Ternyata dia adalah temennya dari temen gue yang namanya Nuri.

Hematnya gue banyak tanya ke Nuri soal dia. Dan sampailah di hari kamis, dua minggu yang lalu... gue kenal sama dia.

Namanya Dira. Dia adalah cowok yang selama ini mencuri perhatian gue. Entah kenapa gue bisa tertarik sama dia, mungkin bisa jadi karena fisiknya yang type gue banget ; Chubby :) NOT FAT yaa ;)

Dua hari sebelum kenalan sama Dira, gue udah sempat ke pergok sama dia lagi curi-curi pandang ke dia. Gue inget banget, hari itu hari selasa, dan saat itu hujan deras. 

Dira sama temen-temennya ngobrol di meja dekat tirai, dan sedangkan gue duduk bersebrangan sama dia hanya berselisih dua meja. 

Gue kepergok lagi CCP ke dia dan sontak gue teriak dalam hati, "DAMN Ketahuan lagi!" Tapi setelah itu gue tetap cuek bebek. Gue mengalihkan pandangan ke laptop di depan gue. Gue lanjut ngetik sambil curi-curi pandang ke dia. End, dia pun juga beberapa kali membalas lirikkan mata gue yang diam-diam itu.

Oh GOD...

Huh hah huh haaaah...

Dag Dig Dug...

begitulah yang gue rasakan setiap kali melihat lirikan matanya. Aaahhh... Dan sejak perkenalan hari kamis itu sampai hari ini, sedikitpun rasa itu nggak berkurang.

GILA! ini bener-bener gila...

Gue sempat bingung awalnya sama perasaan gue sendiri ke dia, beberapa kali curhat ke sahabat gue Lala untuk memastikan bahwa gue cinta sama dia atau nggak, sampai akhirnya gue menemukan jawaban bahwa gue CINTA SAMA DIA, walaupun gue tahu, dia sudah punya pacar dan gue pun sama.

Ah ini bener-bener gila...

Gue nggak tahu kenapa rasa cinta ini bisa muncul, mungkinkah karena gue sudah hampir 1/2 tahun LDR-an sama pacar gue atau mungkin karena faktor yang lain?

Ya kalau boleh jujur, memang pada dasarnya gue type orang yang nggak bisa LDR-an, karena hal itu bagi gue sangat menyiksa.

Gue udah pernah bilang sama pacar gue di awal-awal kita pacaran sekitar dua tahun yang lalu, bahwa gue type orang yang nggak bisa jauh dari pacar. Bukan berarti pacar gue harus ada 24 jam buat gue. Gue sadar bahwa pacar gue juga punya kehidupannya yang lain, gue pun sama, dan kita sama-sama menyadari akan hal itu.

Di saat-saat pertama menjelang keberangkatan pacar gue Dinas di ujung timur Indonesia sana, gue sempat ragu untuk menjalani hubungan Cinta jarak jauh ini. Tapi, pacar gue meyakinkan gue, bahwa ini adalah ujian untuk hubungan kami. Dia menyebutnya, kesetiaan cinta.

Tapi kenyataannya, semenjak dia pergi, ada cinta yang lain yang menyusup ke dalam hati gue pelan-pelan dan itu Dira.

Sampai detik ini gue masih belum menunjukan reaksi apa-apa ke Dira kalau gue suka sama dia. Kalau gue cinta sama dia, dan gue ingin memilikinya. Karena bagi gue, cinta itu HARUS memiliki. Kalau tidak, itu hanya sekedar perasaan kagum.

Saat ini perasaan gue sedang dilematis abiiiisss....
Gue nggak tahu, bagaimana seharusnya sikap gue ke Dira? Kalau gue anggap biasa-biasa aja, berarti gue mendustai hati gue yang beneran jatuh cinta ke dia. Tapi, kalau gue benar-benar sampai ada something dengan Dira.... bagaimana dengan pacar gue? bagaimana dengan pacarnya Dira juga? :'(

Oh Tuhaaaaaan....
Mungkinkah gue harus menjalani cinta diam-diam dengan Dira?

Oh GOD... gue benar-benar bingung!

Tok...Tok...Tokk...

Pintu kamar Maria terketuk pelan.

"Mariaa..." panggil Mama dari balik pintu kamar.

"Ya Maa, ada apa?" sahut Maria sambil membuka pintu kamar.

"Ada tamu buat kamu di bawah,"

"Siapa Ma?"

"Katanya temen kampus kamu,"

"Siapa? Ijan?"

"Bukan. Mama juga baru lihat sekarang."

"Tanya dulu Ma, namanya siapa... aku lagi ngetik naskah nih! Udah deadline banget."

"Tuh kan, kamu itu kebiasaan kalau sudah nulis, jadi lupa waktu deh! Sudah tinggal bentar kerjaannya. Temui teman kamu dulu dibawah sebentar."

Dengan langkah berat, Maria akhirnya mengikuti saran Mama untuk menemui tamu. Maria menuruni anak tangga demi anak tangga dari kamarnya di lantai dua. Dan ketika sampai di ruang tamu, matanya terbelalak hebat melihat siapa yang ada disana, tamu yang tak di undangnya dan tak di duga sebelumnya...

"Kamu...." kata Maria lirih.

"Hi Mar, apakabarnya?" ujar tamu itu menyapa Maria sambil berdiri dari posisi duduknya.

"Hm, ba...baa..baiiikk..." sahut Maria pelan. Matanya berbinar. Pipinya memerah.

"Sorry, aku ganggu kamu nggak malam-malam begini mampir kesini."

"Eeng.. ng.. Eh.. nggak kok! nggak ganggu sama sekali. Ayo silahhkan duduk!" lanjut Maria dengan kikuk.

Maria menunduk. Merapatkan dagunya ke dada, seakan-akan ia ingin mendengar dengan lebih jelas degup jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Ingin rasanya ia berlari keluar, lantas terbang ke langit malam, menari bersama bintang-bintang dan bulan.

Jumat, 16 Desember 2011

KEBAHAGIAAN ADALAH MASALAH KEPUTUSAN

Kebahagiaan adalah masalah keputusan.

Segera setelah anda putuskan untuk berbahagia, semua pikiran, perasaan, dan tindakan anda akan berfokus pada yang membahagiakan.
Maka tegaslah untuk memutuskan bahwa:
WAKTU TERBAIK UNTUK BERBAHAGIA ADALAH SEKARANG
TEMPAT TERBAIK UNTUK BERBAHAGIA ADALAH DI SINI
DAN CARA TERBAIK UNTUK BERBAHAGIA ADALAH MEMBAHAGIAKAN ORANG LAIN.

* Mario Teguh *

IRONIS

Ada begitu banyak keironisan dalam hidup yang aku temui di saat usiaku yang masih dini. Aku tidak tahu mengapa keironisan itu bisa terjadi. Padahal yang aku tahu, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan sempurna, tanpa sedikitpun keganjilan.

Sungguh, keironisan-keironisan itu sempat menyedot seluruh konsentrasiku. Membuatku berpikir penuh, mengapa sampai demikian?

Jumat, 02 Desember 2011

ANOTHER LOVE - (Kisah Denish) #1

Aku sering sekali mendapati kasus-kasus kenakalan remaja yang beragam. Terlebih sejak aku memutuskan untuk menjadi seorang guru di sekolah ini. Aku bekerja sebagai guru konseling sekaligus merangkap guru sejarah menggantikan Pak Agus yang baru saja almarhum sekitar dua bulan yang lalu.
Usiaku di sekolah ini memang tergolong cukup muda, baru dua bulan. Aku masih membutuhkan banyak pengadaptasian disana sini. Tapi meskipun begitu, aku bersyukur tidak mengalami kesulitan untuk mengajar anak-anak muridku. Mereka anak-anak yang cukup mudah untuk diatur, tapi tidak untuk bocah lelaki yang satu ini.
Lelaki ini adalah jagoan kecil yang baru aku kenal beberapa waktu lalu. Dia masih belum bisa berpikir panjang. Ia masih muda. Masa depannya masih jauh didepan sana, tapi hidupnya sudah sedemikian parah, rumit, dan memilukan.
“Kenapa kamu berkelahi lagi? Kamu tahu, tindakan kamu tadi itu hampir menghilangkan nyawa teman kamu.”
“Saya hanya membela diri pak!”
“Membela diri bagaimana? Jelas-jelas semua saksi di kantin tadi mengatakan kamu yang menyerang Aldo duluan.”
“Terserah bapak saja, mau mempercayai saya, atau dia. Kalau seandainya bapak menjadi saya, saya yakin, bapak akan melakukan yang sama. Apakah bapak akan diam saja, sedangkan harga diri bapak diinjak-injak dan ditertawakan, dijadikan bahan olok-olokan?”
“Saya akan mendo’akan mereka. Supaya Tuhan memberikan kesadaran kepada mereka.”
“Apakah bapak pikir dengan do’a saja cukup untuk merubah prilaku seseorang?"

Aku harus sabar. Ya, sabar! Aku ingat apa yang pernah Bu Farida katakan. Menghadapi anak yang satu ini memang harus ekstra sabar. Jangan sampai terpancing emosi. Kita ini pendidik. Bukan hakim, apalagi algojo.
“Isi form perjanjian ini,” kataku sambil memberikan map berwarna merah.
Ia menerima map itu dan langsung mengisinya.
“O ya, saya dengar kamu sekarang bekerja part time, benar?”
“Iya,” sahutnya singkat sambil terus menulis.
“Lalu waktu belajar kamu bagaimana?”
“Itu bisa disiasati.”
“Mungkin itu yang menyebabkan kamu akhir-akhir ini jadi sering terlambat datang ke sekolah?”
“Mungkin.”
“Guru-guru banyak yang khawatir dengan perubahanmu ini.”
“Terimakasih,” Ucapnya dingin.
“Orangtua kamu tahu kalau kamu bekerja part time?”
“Orangtua saya tidak tahu Pak.”
“Kenapa?”
“Ya karena saya tidak tahu harus memberi tahukan mereka kemana.” Jawabnya sambil memberikan form perjanjian yang sudah diisinya.
“Maksud kamu…”
“Saya tidak mengenal orangtua saya dengan baik.”
“Orangtuamu sudah meninggal sejak kamu kecil?”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
“Saya tidak tahu Pak! Saya tidak tahu apakah kedua orangtua saya masih hidup atau sudah meninggal. Dan saya tidak pernah mau mencari tahunya,” Terangnya dengan sinar mata yang menyala-nyala. Ada bara yang begitu panas yang aku lihat disana.
“Lagipula untuk apa saya mencari tahu tentang mereka. Mereka saja tidak pernah mencari saya. Saya rasa ini cukup adil. Mungkin mereka pikir saya ini binatang, anjing buduk yang bisa ditendang, dibuang begitu saja!” tambahnya keras.
Aku terkejut mendengarnya, “Hush! Maksud kamu apa bicara seperti itu? Hati-hati dengan ucapanmu itu!”
“Saya hanya mengungkap realita saja pak dan saya pikir, bapak jauh lebih mengerti dan bisa menerangkan kepada diri bapak sendiri maksud dari ucapan saya barusan.”
Sekarang aku bisa sedikit memahami, mengapa etika anak ini sampai begini. Ternyata ia kehilangan satu masa yang indah. Masa-masa bersama orangtua. Ia tidak merasakannya. Wajar saja.
“Ada lagi yang ingin dibicarakan pak?”
Lelaki muda ini memang batu. Aku sudah mendengar semua ceritanya dari guru-guru yang lain. Pada dasarnya dia anak yang cerdas dan kreatif, namun entah mengapa beberapa waktu belakangan ini ia menjadi begitu pemurung.
Aku sendiri tidak bisa berkata banyak untuk menanggapi masalah yang dihadapinya. Hanya kalimat ini yang baru bisa aku katakan padanya, “Kamu harus bisa merubah pola hidup kamu seperti dulu lagi. Apa yang kamu jalani saat ini. Kamu sudah tidak seperti yang dulu lagi.”
“Bagaimana bapak bisa tahu kalau saya bukan yang dulu lagi, sedangkan bapak saja baru mengajar disini.”
“Saya tahu lebih dari apa yang kamu tahu.”
Bocah ini mengerutkan dahinya. Ia nampak kebingungan.
“Saya memahami akan hal itu.  Semua saran yang saya berikan itu juga demi kebaikan kamu. Tapi, saya tidak bisa memaksakannya. Semua keputusan akhir, ada ditangan kamu. Berubah adalah pilihan.”
“Apa tidak ada pilihan yang lain?”
“Tidak!” sahutku mantap.
Aku pikir cara yang terbaik untuk menanggapi lelaki muda yang satu ini memang ketegasan. Tidak ada opsi lain yang bisa aku berikan selain itu.

“Ya sudah, sebaiknya kamu sekarang balik lagi ke kelas. Saya tidak ingin lagi mendengar kasus dari kamu lagi berkelahi dengan teman, terlambat datang ke sekolah, atau tidur dikelas.”
“Baik Pak!” sahutnya lemah.
Ia bangkit dan hendak balik ke kelas, tetapi sebelum ia benar-benar membuka pintu. Aku memanggilnya kembali, “Denish!”
Ia membalikan badannya. “Ya?”
“Kamu itu siswa yang cerdas. Jika kamu sudah tidak lagi memperdulikan bagaimana perasaan orangtuamu ke kamu, tolong. Minimal, jaga perasaan guru-guru yang menyayangi kamu. Jangan kecewakan saya. Saya menaruh harapan besar ke kamu. Saya menantikan Denish yang dulu!”
Ia hanya tersenyum tipis dan langsung menghilang dibalik pintu. Aku menghela nafas panjang,
Denish, adikku…”