Hari ini berasa banget capeknya. Dari kemarin mutar muter untuk demi kelancaran proyek tulisan gue bareng penulis muda dari karawang :D dengan di awali dengan adegan nyasar di palmerah, gara-gara sok-sok-an nyari jalan pintas, eh malah nyasar. Apes! :(
setelah tanya sana-tanya sini. Senggol kanan-senggol kiri akhirnya sampai juga di kawasan Tomang.
Naskah berhasil diselesaikan tepat pukul 11 siang di keesokan harinya dengan menghasilkan 5 chapter, Alhamdulillah! Walau belum tahap editing... :D
Disela-sela pembuatan naskah, sahabat baru gue yang satu itu bilang, “Lingkungan itu penting Akh untuk membentuk karakter seseorang!”
Gue mengiyakan dalam hati.
Emang akhir-akhir ini berasa banget lingkungan gue beda 360 derajat. Satu per satu orang terdekat gue pun mulai menyadarinya. Banyak yang udah komen ini itu. Dari mulai yang positif, sampai yang negatif. Dari mulai yang ngomongnya di elus-elus, sampai ada yang main banting seenaknya.
Huuufh!
Tapi semua komen yang masuk seperti biasa, gue selalu menanggapinya dengan santai. Gue gak pernah mau ambil pusing dengan omongan orang tentang diri gue. Dan itu bukan berarti gue tuli alias gak dengerin gitu aja, semua omongan yang masuk gue filterisasi dulu alias disaring dulu. Biar enak pas waktu di minumnya.
Dalam diam, gue berpikir cukup lama. Omongan sahabat baru gue itu, coba gue kaitkan dengan pengalaman hidup gue, dan sikap yang baru akhir-akhir ini di ambil oleh salah seorang teman gue sesama penyiar radio, yang dimana si temen gue itu mendelete hampir 90 % temen-temennya yang ada di Friendlist FB.
Ya, gue coba cari tahu dan gali, kenapa bisa begitu? Dan akhirnya... dapet deh kesimpulan. Ya, dia ingin menetralisir pergaulannya. Gue tahu pasti itu. Karena setelah gue cek ricek semua itu benar.
Gue langsung acungin empat jempol dan langsung beri dia standing applause sambil teriak-teriak gak jelas gitu atas keberanian dia mengambil sikap. Satu hal yang jujur, gak terpikirkan oleh gue.
Dalam hati gue pun akhirnya berbicara, “Kira-kira apakah gue juga harus melakukan hal yang sama?”
Sampai detik ini, gue masih belum bisa menjawab. Iya atau tidak!
***
Dalam perjalanan pulang ke studio latihan drama di kawasan Sambas Blok M, gue sempat nunjukin ke sahabat baru gue itu, “Ini nih rumah mantan gue yang semalam gue ceritain. Senior dikampus yang udah bikin gue jadi kayak 'gini' !” Jelas gue sambil nunjukin dia waktu lewat kawasan Srengseng.
Sahabat gue itu cuma nimpalin santai, “kayaknya, lu harus ngebiasa-in diri mulai sekarang, gak usah membahas apapun lagi yang ada kaitannya dengan dia itu. Kalau lu masih sebut, dia, dia, dan dia lagi sampai kapan pun lu gak akan pernah bisa lupa. Sampai kapan pun lu gak akan bisa lepas dari dunia yang 'begitu'. Lu bisa! Gue yakin dan percaya.”
Gue cuma ngelus dada sambil berujar dalam hati, “Alhamdulillah, sudah di ingatkan lagi.”
“Novel ke-tiga lu kan sebentar lagi rampung, ya sudah habis itu tinggalin semuanya. Biarkan semua cukup tercatat dalam lembaran kisah-kisah yang ada di dalam novel lu itu. Cukup sampai disitu.” Ungkapnya tegas dengan bahasa yang berbeda, “gue yakin dan percaya kalau sudah banyak orang yang menantikan hadirnya diri lu yang dulu!”
Jreeeeng... Jreeeng..
Ah sumpah, berasa mau nangis gue!
***
Gue emang type orang yang keras dan berani mengambil resiko, tapi bukan berarti gue orang yang asal dan gak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Gue tahu kemampuan diri gue dalam menilai sesuatu.
Gue tahu apa yang gue jalanin saat ini memang sudah sangat jauh berbeda dari rutinitas gue tiga tahun terakhir. Tapi, apa yang gue jalanin saat ini pun bukan tanpa sebab. Bukan tanpa pertimbangan yang logis.
Sebagian orang sudah terlanjur memandang gue sebagai mr.X yang suka kelayapan tengah malam. Pergi kesana kesini. Datang dari satu pintu kamar hotel ke pintu kamar hotel lainnya. Dari satu pintu apartemen, ke pintu apartemen lainnya. Dari satu pintu kosan, ke pintu kosan lainnya. Ya, itu yang ada di benak sebagian temen gue tentang gue.
“Lo emang gak pernah kehabisan ide untuk bisa menjatuhkan lawan lu deh! Hebat!” Komen salah seorang teman gue waktu dikampus.
Apanya yang hebat? Semua ini gue lakukan demi totalitas gue aja. Ya, gue berdalih seperti itu setiap ada temen gue yang tanya ini itu.
“Apakah kamu yakin? Hanya sebatas 'totalitas'.” tanya mas Enha suatu senja di salah satu kamar hotel, Swiss Belhotel.
“Ya.”
“Bukan karena Dy?”
Gue terpekur cukup lama.
“Bukan. Saya hanya menghibur diri.”
“Menghibur diri karena apa?”
“Karena...”
Lagi-lagi gue dipatahkan oleh pertanyaanya yang gue merasa terperangkap didalamnya. Gue bertanya dalam kehati gue, lama.
“Karena aku terluka mas. Aku dendam!”
“Jadi hanya karena alasan dendam, kamu rela menjatuhkan lawan-lawanmu?”
“Saya menjalankan apa yang saya suka.”
“Ya sudah terserah.” Ucapnya lirih, disusul dengan senyuman khas miliknya.
Lama berdiri dipinggiran kawasan mangga besar. Berjalan pelan lalu berhenti. Berjalan pelan, kemudian berhenti lagi. Buntu.
***
Bagi gue, cuma orang yang bodoh dan gak punya nurani aja, jika sudah diperingatkan berulang kali tapi gak mau ngerti juga dan mengambil pelajaran darisana. Gue gak mau menjadi salah satu bagian dari orang-orang bodoh itu.
Mungkin bisa jadi, gue udah merasa diri gue membusuk kaya sampah. Bau. Menjijikan. Tapi, bukankah sampah bisa di daur ulang untuk bisa digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat? Sekecil apapun itu.
Malam ini, gue cuma ingin menuntaskan kisah ini. Sudah cukup banyak luka, perih, kecewa, airmata yang gue rasakan. Dan gue, gak mau ngerasainnya lagi. Walaupun kayaknya, nol sekian persen kemungkinannya.
“yang penting, Tuhan sudah tahu niat lu!” Begitu pesan sahabat baru gue itu.
Bagi gue, modal gue itu cuman satu, BERANI!
Waktu itu gue sudah BERANI memutuskan untuk begini begitu. Sekarang pun gue harus BERANI menceritakannya dan memutuskan untuk KEMBALI.